Posts

Showing posts from February, 2022

Malam

Sesuai dengan tema, sengaja aku membuat tulisan ini di malam hari. Malam (yang seharusnya) kesembilan belas ini sengaja aku dedikasikan untuk menulis tulisan bulanan ini. Biasanya, aku juga akan meluangkan waktu di malam hari untuk menulis. Terutama di hari kerja, di mana sepertiga dari 24 jam aku habiskan di sana. Berbeda dengan hari libur, aku bisa meluangkan waktu lebih di pagi atau siang hari untuk mengejar ketertinggalan yang tidak menyenangkan ini. Eh, ngomong-ngomong , ini hari libur juga, loh. Tanggal merah karena isra’ mi’raj . Tapi… aku memilih untuk tetap menulis di malam hari dan mengisi pagi dan siangku untuk menonton drama Korea. Beginilah aku, yang mengesampingkan komitmenku menulis dan memilih melakukan hal lain. Sangat tidak dibenarkan ini. Baiklah, kita berbicara malam. Dari beberapa pembagian waktu 24 jam dalam sehari, malam adalah waktu favoritku. Padahal, aku yakin banyak yang membenci malam karena mengingatkan mereka pada fakta bahwa sebentar lagi pagi mendat

Mari coba lupakan

Sejujurnya, ini adalah hal yang amat tidak menyenangkan. Aku sendiri tidak suka. Apa yang dinikmati dari usaha untuk melupakan? Banyak yang bilang kalau semakin kita mencoba untuk melupakan, semakin pula ingatan kita membantah dan terus mengingatnya. Bagaimana kita tidak terus mengingatnya? Dalam proses melupakan pun, kita “mengingatkan” otak kita untuk “melupakan” itu, kan? Kunci utamanya saja mengingat untuk lupa, akan mustahil apabil ingin melupakan tapi tidak akan teringat sama sekali. Setidaknya, itu sendiri yang aku rasakan. Tadinya tidak ada niat, namun rasanya aku sambungkan saja ceritaku kemarin tentang teman . Lebih tepatnya, mantan teman. Setelah berakhirnya hubungan kami sebagai teman (loh, ternyata juga bisa, ya, dalam pertemanan berubah status!) , tentunya kenangan-kenangan itu masih teringat jelas dalam pikiranku. Bagaimana tidak? Intensitas yang tercipta, walaupun tidak dalam waktu yang lama, sudah menciptakan itu semua. Sebagai orang yang benar-benar memaknai kehad

Aku Si Penyandang Gelar

Kalian tahu tidak? Setiap manusia yang hidup di dunia merupakan sebuah kemenangan. Termasuk aku, termasuk kalian. Dalam hal apa? Dalam hal memperebutkan sel telur ibu. Hanya yang berhasil lah menjadi juaranya, yaitu yang membentuk kalian saat ini. Jadi, tanpa kalian melakukan apapun, untuk satu hal yang pasti, kalian adalah seorang juara. Kenapa kalian ingin menjadi juara? Coba, ya, aku jabarkan beberapa jawaban. Apakah karena demi pencapaian diri sendiri? Demi memuaskan orang lain? Atau justru, demi pengakuan dari orang lain juga? Dua jawaban terakhir terdengar menyeramkan. Sejujurnya, aku paling tidak suka ide akan adanya peran orang lain yang harus menyetir diri kalian. Tapi, terkadang yang namanya manusia, pasti pernah melakukan hal tersebut demi manusia lainnya. Ya, aku salah satunya. Aku juga pernah seperti itu. Aku ingin menjadi juara agar aku dapat dipandang sebagai orang yang mampu secara intelektual. Tapi pada akhirnya, aku sama sekali tidak mendapatkan itu! Hahaha. Aku

Detik ini pun aku rindu

Aku memang belum pernah menceritakannya ke kamu. Karena... memang belum ingin! Hahaha. Twitter menjadi saksi bisu akan ceriwisnya aku menceritakan tentang manusia satu ini. Satu hal yang perlu kamu tahu, aku sedang merindukan seseorang. Seseorang yang kukenal sejak April 2021 dan melakukan pertemuan pertama di Juni 2021. Mungkin kamu pikir pertemuan kami barulah singkat, tapi perasaan kami masing-masing tidak bisa ditentukan hanya dengan waktu singkat itu. Kami sudah saling cinta, kawan. Sekarang kamu mulai bertanya-tanya, mengapa aku bisa merindukan seseorang itu. Ah, tanpa kamu tanya juga aku akan cerita. Alasannya jelas, sebagaimana pasangan pada umumnya. Lebih spesifik, sebagaimana mereka-mereka yang bertarung melawan jarak. Wah, memang. Dengan ini, aku tidak pernah menepis kalimatnya Dilan. Rindu memang berat. Sekali lagi. Rindu memang berat. Jarakku dan manusia ini, kekasihku, sekitar 11.188 km. Awas kalau kamu bilang ini dekat! Ya, memang sejauh itu. Ada kepentingan utaman

Aku masih bisa pulang

     Aku pernah lihat sekelibat perihal kalimat yang menyatakan bahwa, “rumah yang sebenarnya adalah berupa manusia” atau kurang lebih dalam Bahasa Inggris, “the real home is a person” , adalah kalimat yang benar. Apa hubungannya rumah dengan tema pada hari ini? Bagiku, rumah identik dengan kepulangan. Siapa pun yang menyatakan dirinya akan pulang, pasti akan menuju rumahnya masing-masing. Aku tidak peduli pada bentuk bangunan si rumah. Mau itu rumah, kontrakan, kosan, apartemen, rumah bibi, rumah nenek, atau apapun yang bisa kalian jadikan rumah, bukan itu. Itu hanya bangunan mati yang tidak memiliki makna. Yang paling berperan penting dan membuat bangunan itu menjadi hidup dan memiliki cerita adalah orang-orang di dalamnya. Bagaimana di sana ada orang tua, adik-kakak, nenek-kakak, bibi-paman, teman sebaya, dan pasangan, dialah yang kalian tuju. Dialah yang menjadi alasan mengapa kamu ingin pulang dan memutuskan untuk pulang ke sana. Aku masih bisa pulang. Ya, aku pulang ke rumah

Tanggapanku tentang Hari Valentine

“Hari Valentine bukanlah budaya kita.” Sebagai warga negara Indonesia, kita seringkali menjumpai kalimat ini. Dulu, kalimat ini maknanya tegas. Sampai-sampai menuai adu opini dan ditanggapi secara serius oleh warganet. Namun, semakin sering kalimat tersebut diulang setiap tanggal 14 Februari, semakin menggeser maknanya menjadi jenaka. Orang menjadi sering membercandakan sesuatu menggunakan kalimat itu untuk menjembatani kalimat selanjutnya. “Hari Valentine bukanlah budaya kita. Budaya kita adalah beli coklat sendiri, makan sendiri, posting sendiri dengan caption, ‘makasih, ayang’.” Salah satu contohnya. Kalau merujuk kepada sejarahnya, memang Hari Valentine bukanlah kisah yang membahagiakan. Aku tentunya sudah lupa, kapan aku membaca kisah ini saking pensarannya sejak dulu. Tapi, kalau tidak salah, ya, disebut sebagai hari kasih sayang dikarenakan sejarahnya yang mengisahkan dua sejoli yang saling cinta. Maka dari itu, keluarlah kesimpulan bahwa Hari Valentine ditandai dengan Ha

Memang aku yang ingin pergi

Hanya dengan mendengar katanya saja, aku langsung tahu harus menggoreskan apa di kertas tulisku hari ini. Tidak terasa, sudah hampir setahun aku pergi. Tapi, tidak satu momen pun terlupakan karena kepergianku menghasilkan pelajaran yang amat berharga dalam hidupku. Pergi memang sebuah pilihan, namun bukan berarti kepergian dapat melupakan segala-galanya. Aku percaya itu. Dimulai sejak tahun 2017, aku memutuskan untuk memulai hubunganku dengan seseorang yang kukenal dari kelompok KKN. Kalau kamu ingat, aku pernah menuliskannya di postingan tentang KKN , walaupun singkat. Selama itu kami menjalani hubungan dengan basis perasaan yang saling terbalaskan, tanpa memedulikan status. Tapi, barulah setelah meninggalkannya, aku sadar bahwa itu sudah merupakan hal yang salah sedari awal. Awal tahun 2021, dia sudah mulai aneh. Banyak hal-hal yang sebelumnya tidak pernah aku lihat di dirinya, tiba-tiba muncul dengan sendirinya. Tidak wajar apabila aku tidak bertanya kepada diri sendiri, “selama

Bicara juga butuh kemampuan

Bagiku, sebagian besar masalah tercipta karena adanya hubungan komunikasi yang buruk. Aku mengartikan komunikasi di sini sebagai “kemampuan berbicara”. Tentunya, berbicara di sini juga tidak hanya sebatas bersuara yang terdengar, namun juga tindakan apapun yang menyalurkan hal yang ingin disampaikan, baik itu secara langsung melalui mulut atau melalui perantara lainnya. Lalu, kenapa hadir sebuah hubungan komunikasi yang buruk? Karena pada dasarnya, tidak selamanya manusia memiliki kemampuan untuk bicara dengan baik. Bukan karena gagu atau disabilitas, melainkan berbicara pada saat dihadirkan lawan bicara. Hubungan komunikasi tidak bisa tercipta hanya dengan satu orang. Namanya juga hubungan, pasti berdua. Kalau sendiri, pastinya maunya hubungin dia, kan? Eh . Paling sering kita jumpai kasus seperti ini di zaman maraknya media sosial. Di mana seluruh masyarakat sudah tidak punya batasan untuk berbicara semaunya, sebebas mungkin ( selama tidak berbenturan dengan UU ITE, ya ). Di si

Buat apa?

Beberapa waktu lalu, ada sebuah keributan yang terjadi di dunia media sosial Indonesia perihal hak masyarakat untuk tetap pergi ke tempat keramaian. Objek percekcokan pada saat itu adalah tempat clubbing . Tentunya, ini menuai keberpihakan para warganet akan setuju atau tidak setuju. Pikiranku langsung tertuju pada hal-hal lain yang berirama sama, bagaimana dengan orang-orang yang memutuskan untuk tetap menggelar pesta di tengah bencana seram ini? Jawabannya, semua bisa terjadi. Masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, atau bahkan seluruh masyarakat di belahan dunia ini, rasanya sudah lelah menghadapi bencana yang sudah ada di tahun ketiga ini. Mereka terlalu lelah untuk menahan segala kegiatan yang tertunda dan merasa bahwa kali ini setidaknya mereka bisa merasakannya kembali. Belum lagi, mayoritas dari mereka sudah menjalankan perintah negara dengan melakukan vaksinasi sebagai upaya melindungi diri. Semakin menciptakan pemikiran bahwa mereka saat ini semakin baik-baik saja dan s

Mencoba untuk tenang

Menyambung dari ceritaku yang kemarin , tema ini tercetus juga karena sisi diriku yang mensugestikan sisi diriku yang lain untuk mencoba tenang. Siapa yang tidak panik apabila kondisinya seperti itu? Sayangnya dari belasan panitia acara, tidak ada satu pun yang superhero . Semua hanya manusia biasa yang berubah peran menjadi penyelamat kondisi darurat sebuah lokasi penginapan acara. Satu hal dan hal paling utama yang harus kami lakukan dalam kondisi seperti ini adalah tenang. Aku pribadi rasanya sulit menerapkan ini di awal. Merinding, panik, takut, menjadi satu hanya dengan mengetahui beberapa peserta ada yang terpapar. Belum lagi kaget dan sedih begitu mengetahui satu dari teman perjuangan harus berjuang lebih dibanding kami-kami yang masih diberi sehat. Bagaimana caranya aku bisa tenang? Hari ini, seluruh kegiatan dilaksanakan secara online . Pagi sampai sore memang dihabiskan di depan layar saja bagi para peserta, namun tidak bagi panitia yang masih harus tetap bertarung. Bagai

Minggu ini cukup melelahkan

Jujur saja, pada saat menentukan tema di hari kesembilan ini, sebenarnya memang sedang terjadi di diriku sendiri. Sebagaimana yang kalian ketahui bahwa aku sedang berada di dalam sebuah rangkian kegiatan (bisa dibaca di sini ya!), tanggal 9 ini adalah hari di mana semuanya berubah. Dari puluhan peserta yang ikut dalam acara tersebut, ditemukan 3 (tiga) peserta yang terkena arus bencana mengerikan beberapa tahun terakhir ini. Otomatis, acara tidak bisa dilanjutkan karena seluruh peserta maupun panitia harus melakukan isolasi mandiri. Semuanya berubah. Senyap seketika melanda lantai lima penginapan tempat acara digelar. Seluruh panitia sudah dilakukan swab antigen dan satu dari kami harus gugur. Aku salah satu orang yang kontak erat dengannya. Sedih sekali mengetahui fakta ini. Hasil tes menunjukkan “negatif” untukku, tapi ini bukanlah akhir dari segalanya. Segera kuhubungi temanku itu dan ia baru saja selesai menangis, mengeluarkan seluruh perasaannya dan mencoba untuk menerima ke

Kamu berani untuk menatap langsung? Jangan tanya aku

Image
Setiap orang memiliki kemampuan untuk menghasilkan tatapan. Tidak terkecuali orang dengan disabilitas yang tidak bisa melihat pun, masih dapat menghasilkan sebuah tatapan. Sama dengan senyuman , tatapan pun maknanya ganda. Bisa dibilang, maknanya diartikan lebih banyak karena seluruh rasa emosional yang sedang kamu rasakan dapat terpancar semua melalui tatapan. Aku sendiri di sini akan membahas beberapa jenis tatapan yang menjadi tatapan favorit! Pembahasannya tidak akan jauh-jauh dari artis Korea Selatan. Beberapa dari mereka ada yang memiliki privilese bermata sipit yang tanpa usaha apapun akan menghasilkan tatapan yang “menusuk”. Jenis tatapan itulah yang rasanya ingin sekali ditatap walaupun terkesan galak atau sinis. Tapi, tatapan-tatapan itu adalah yang kusuka! Kalau boleh pilih nih, rasanya ingin sekali punya mata seperti itu agar bisa menampilkan tatapan yang serupa. Nih, aku beri contoh ketiga artis dengan tatapan yang sempurna di mataku. Ryu Junyeol Yeji ITZY JB GOT7 Bisa

Aku absen dulu

Aku merasa bersalah hari ini. Untuk pertama kalinya, dalam tantangan menulis kali ini tidak ada tema khusus yang ditentukan. Aku kira aku mampu melakukannya hari ini, tapi ternyata aku tidak bisa menyesuaikan. Jangan lihat tanggal kapan aku mempublikasi cerita ini, ya. Anggap saja ini ceritaku di Februari yang ketujuh. Keterlambatan beberapa hari ini masih bisa dimaafkan, ‘kan? Jadi, semua ini karena kegiatanku dari kantor yang mengharuskanku menginap selama 6 hari 5 malam. Waktu yang tidak singkat untuk bekerja menurutku. Pikiranku langsung menuju tantangan tulisan ini, pasti. Sudah terpikirkan olehku akan bagaimana caranya aku membagi waktu? Apakah aku sanggup melakukan ini? Apakah aku bisa fokus? Ternyata, tenagaku tidak sebanyak itu untuk melakukan banyak hal. Dan aku pun tidak memaksakan keadaan itu. Aku baru saja bisa menuliskan itu di hari ini dikarenakan beban kerja yang sudah berkurang dibanding hari-hari sebelumnya. Ternyata, menjaga komitmen itu tidak cukup apabila mem

Sebuah tanda yang bermakna ganda

Apabila bertemu dengan seseorang, hal ini memang tidak dapat langsung kita lihat karena butuh usaha untuk menggerakan otot-otot dalam membentuknya. Setiap melihat orang di mana pun, belum tentu mereka dalam keadaan langsung tersenyum, bukan? Yang terlihat pada awalnya hanyalah bibirnya, tanpa gerakan apapun. Lalu setelah saling tatap, barulah masing-masing mengulas sebuah gerakan di bibirnya sebagai bentuk perkenalan yang hangat. Sebuah senyum. Senyum selalu identik dengan makna yang rahayu. Seseorang melontarkan senyuman saat mereka ingin memancarkan aura positif entah untuk apa tujuannya. Entah seperti tadi, yang kondisinya saling menyapa dalam gestur, keinginan untuk mengungkapkan suatu perasaan yang bahagia atau menghasilkan jepretan foto yang baik dengan ekspresi yang baik. Masih banyak alasan yang dapat membuat seseorang tersenyum, tapi menurutku tiga alasan inilah yang utama. Apakah ada seseorang yang tidak memiliki senyum? Sepertinya tidak. Jangan bilang Ghozali Everyday ,

Kesukaanku rasanya berbeda dengan orang lain

Siapa yang tidak suka hujan? Pertanyaan yang orang lain dapat jawab, “tidak ada”, “entahlah, bukan urusanku”, “pasti adalah”, aku akan memilih untuk menjawab, “aku, tapi…”. Aku bisa beri penjelasan. Rata-rata orang yang menyukai hujan, mereka bersedia untuk menerabasnya dan bermain dengan ria. Istilahnya, hujan-hujanan . Memperbolehkan dirinya dibasahi sekujur tubuh oleh air yang datang dari langit dan tidak mempedulikan apapun yang ada di sekitarnya. Hujan-hujanan ini bisa dilakukan dalam berbagai kondisi. Dimulai dari rasa bahagia yang membahana sehingga ingin sekali dirayakan oleh semesta, rasa sedih dan kecewa yang membutuhkan bantuan derasnya air hujan untuk menyamarkan air mata serta teriakan yang harapannya akan terdengar samar, sampai kepada kondisi yang tidak memungkinkan untuk melipir sejenak menunggu berhentinya hujan. Tapi, tidak memanfaatkannya untuk itu. Aku bukannya tidak suka hujan, hey . Hujan menyejukkan, kok. Menghapus panasnya Kota Jakarta dan itu amat sangat

Apa itu bisa disebut sebagai teman?

Yang namanya makhluk sosial, tidak akan bisa hidup tanpa melakukan aktivitas sosial. Bersosialisasi adalah salah satunya, salah satu cara makhluk sosial untuk bertahan hidup. Dengan bersosialisasi, tentunya akan tercipta interaksi-interaksi yang nantinya membentuk sebuah relasi. Relasi yang dibuat oleh makhluk sosial akan memberikan dampak kepada pemberian status kepada makhluk sosial lainnya, salah satu statusnya adalah “teman”. Kira-kira, kapan kamu bisa menyebut seseorang sebagai temanmu? Apakah kamu punya tolak ukur? Kalau aku sendiri, begitu aku mengenalnya dan memiliki interaksi yang cukup intensif, aku akan mengatakannya sebagai teman. Walaupun terpisahkan jarak dan (mungkin) belum pernah melihat wajahnya karena berteman dari media sosial, tetap aja mereka adalah temanku. Aku menilai seorang teman dari intensitas interaksi yang tercipta tanpa memandang hal-hal lainnya. Kalau definisi aku diadopsi oleh banyak orang, maka orang-orang tersebut dapat dikatakan banyak memiliki t

Terima kasih atas kehadirannya

Image
Kalau kamu bertanya hal apa yang selalu ada, tidak pernah berubah dan tidak pernah pergi; adalah langit. Coba bayangkan? Mau seburuk apapun kondisi yang ia alami, tetap saja tidak pernah pergi. Selalu di sana, siap menanti seluruh pandangan yang menengadah ke atas khusus untuk menatapnya. Kalau kamu mau cari perbandingan akan hal lain yang selalu ada dan tidak pernah pergi, tanah misalnya, ada kalanya ia berubah. Kondisi geologis yang dipengaruhi beberapa hal dapat mengubahnya. Sedangkan langit, gelap atau terangnya mereka bukan karena kesalahannya. Rotasi bumilah yang memberikan kesempatan bagi matahari dan bulan untuk bersinar. Jadi, apalagi yang mau kamu bandingan dengan langit? Apakah ada lagi? Kurasa tidak. Kalau ada, tolong beritahu aku, ya. Saat ini tidak ada yang bisa menggeser posisi langit sebagai “paket lengkap”. 3 Februari 2022, 6:48 PM. Aku tidak pernah sedikit pun merasa tidak suka kepada langit, bosan pun tidak. Padahal sudah terhitung jutaan kali aku mengadahkan kepal

Perkenalkan, bencana terseram seumur hidup

Sayang sekali. Saat aku mencoretmu tahun 2020, aku sama sekali tidak memperkenalkanmu pada bencana terseram dunia yang sedang terjadi. Ya, sejak 2020, bahkan akhir 2019, terjadi dan sedang terjadi sampai detik aku menuliskan kata ini. Namanya Covid-19. Tidak perlu panjang lebar menjelaskan karena informasi sudah tersedia dan tak berbayar di internet, namun bencana ini adalah sebuah penyakit berbentuk virus yang menyerang populasi manusia dan hewan ( untung saja tumbuhan tidak ). Mereka kejam, sehingga “bencana” menjadi nama panggil yang sesuai dan fakta pun mengatakan demikian. Sebelumnya memang dunia ini pernah mengalami bencana yang sama, kiranya sekitar tahun 1912 saat terjadinya Flu Spanyol setelah Perang Dunia I. Bencana ini menelan puluh juta korban jiwa sampai akhirnya bisa pulih kembali setelah dua tahun berjibaku dengan populasi manusia. Nah, untuk bencana kali ini, hitungannya sudah dimulai sejak 2019 dan ini adalah tahun kedua mereka hadir ke dunia. Korban pun sudah jutaa

Halo (Lagi)?

Mohon maaf sebesar-besarnya kepada platform blog kesayanganku yang sejak 2017 hanya diisi satu postingan per tahun, bahkan tidak di tahun 2021 kemarin. Sekali lagi, mohon maaf. Kesalahanku ini memang tiada tara, tapi, tahun ini akan berbeda, khususnya bulan ini. Februari 2022 akan menjadi bulan pertama di sepanjang sejarah tahunku menggoreskan cerita pendek di setiap harinya. Berhubung sekarang adalah hari pertama, izinkan aku kembali mencoret-coret dirimu dengan celotehan abstrak sebagai pembuka. Pertama-pertama, mari kita mulai dengan ucapan selamat datang. Selamat datang, Februari 2022! Tanggal 1 ini bertepatan dengan Tahun Baru Cina. Seluruh masyarakat sibuk dengan buah dari perayaan Imlek yang ditandai dengan pemberian angpao bagi yang membutuhkan. Tapi, kalau mau memberikan angpao ya harus sudah menikah, karena tergolog sudah mapan. Kalau belum nikah, coba bisa tanya ke teman-teman Cindo ( Chinese-Indonesian ) kalian untuk dapat data yang lebih valid , ya. Tapi kalau b