Posts

Rasa haru dan hangat di Lebaran 2022

Tidak hanya saya, tapi saya yakin bahwa mayoritas masyarakat Muslim Indonesia setuju bahwa Hari Lebaran tahun ini membawa kesan yang berbeda setelah dua tahun tidak diperbolehkan secara resmi oleh pemerintah untuk mudik. Kebersamaan yang sempat dijalin hanya melalui video call atau Zoom Meeting selama pandemi, kali ini akan dipertemukan secara tatap muka dengan sensasi yang melegakan dan membahagiakan. Saya salah satu yang merasakan berkah ini. Memutuskan untuk pulang kampung ke Bandung dua hari sebelum Hari Lebaran, membuat saya kembali merasakan rasanya mudik walau hanya sekitar 140km jaraknya dari Jakarta. Sangat tidak sabar rasanya menyambut nenek di rumah dan menyicip masakannya, baik hari H Lebaran maupun sesampainya kedatangan saya ke sana. Sebelum menyambut lebaran, di hari sama, saya bersama dengan sepupu-sepupu akan menghabiskan malam di salah satu villa daerah Dago sambil memanfaatkan waktu bersama. Lalu, sehari sebelum Lebaran, saya menginap di rumah nenek sembari mem

Malam

Sesuai dengan tema, sengaja aku membuat tulisan ini di malam hari. Malam (yang seharusnya) kesembilan belas ini sengaja aku dedikasikan untuk menulis tulisan bulanan ini. Biasanya, aku juga akan meluangkan waktu di malam hari untuk menulis. Terutama di hari kerja, di mana sepertiga dari 24 jam aku habiskan di sana. Berbeda dengan hari libur, aku bisa meluangkan waktu lebih di pagi atau siang hari untuk mengejar ketertinggalan yang tidak menyenangkan ini. Eh, ngomong-ngomong , ini hari libur juga, loh. Tanggal merah karena isra’ mi’raj . Tapi… aku memilih untuk tetap menulis di malam hari dan mengisi pagi dan siangku untuk menonton drama Korea. Beginilah aku, yang mengesampingkan komitmenku menulis dan memilih melakukan hal lain. Sangat tidak dibenarkan ini. Baiklah, kita berbicara malam. Dari beberapa pembagian waktu 24 jam dalam sehari, malam adalah waktu favoritku. Padahal, aku yakin banyak yang membenci malam karena mengingatkan mereka pada fakta bahwa sebentar lagi pagi mendat

Mari coba lupakan

Sejujurnya, ini adalah hal yang amat tidak menyenangkan. Aku sendiri tidak suka. Apa yang dinikmati dari usaha untuk melupakan? Banyak yang bilang kalau semakin kita mencoba untuk melupakan, semakin pula ingatan kita membantah dan terus mengingatnya. Bagaimana kita tidak terus mengingatnya? Dalam proses melupakan pun, kita “mengingatkan” otak kita untuk “melupakan” itu, kan? Kunci utamanya saja mengingat untuk lupa, akan mustahil apabil ingin melupakan tapi tidak akan teringat sama sekali. Setidaknya, itu sendiri yang aku rasakan. Tadinya tidak ada niat, namun rasanya aku sambungkan saja ceritaku kemarin tentang teman . Lebih tepatnya, mantan teman. Setelah berakhirnya hubungan kami sebagai teman (loh, ternyata juga bisa, ya, dalam pertemanan berubah status!) , tentunya kenangan-kenangan itu masih teringat jelas dalam pikiranku. Bagaimana tidak? Intensitas yang tercipta, walaupun tidak dalam waktu yang lama, sudah menciptakan itu semua. Sebagai orang yang benar-benar memaknai kehad

Aku Si Penyandang Gelar

Kalian tahu tidak? Setiap manusia yang hidup di dunia merupakan sebuah kemenangan. Termasuk aku, termasuk kalian. Dalam hal apa? Dalam hal memperebutkan sel telur ibu. Hanya yang berhasil lah menjadi juaranya, yaitu yang membentuk kalian saat ini. Jadi, tanpa kalian melakukan apapun, untuk satu hal yang pasti, kalian adalah seorang juara. Kenapa kalian ingin menjadi juara? Coba, ya, aku jabarkan beberapa jawaban. Apakah karena demi pencapaian diri sendiri? Demi memuaskan orang lain? Atau justru, demi pengakuan dari orang lain juga? Dua jawaban terakhir terdengar menyeramkan. Sejujurnya, aku paling tidak suka ide akan adanya peran orang lain yang harus menyetir diri kalian. Tapi, terkadang yang namanya manusia, pasti pernah melakukan hal tersebut demi manusia lainnya. Ya, aku salah satunya. Aku juga pernah seperti itu. Aku ingin menjadi juara agar aku dapat dipandang sebagai orang yang mampu secara intelektual. Tapi pada akhirnya, aku sama sekali tidak mendapatkan itu! Hahaha. Aku

Detik ini pun aku rindu

Aku memang belum pernah menceritakannya ke kamu. Karena... memang belum ingin! Hahaha. Twitter menjadi saksi bisu akan ceriwisnya aku menceritakan tentang manusia satu ini. Satu hal yang perlu kamu tahu, aku sedang merindukan seseorang. Seseorang yang kukenal sejak April 2021 dan melakukan pertemuan pertama di Juni 2021. Mungkin kamu pikir pertemuan kami barulah singkat, tapi perasaan kami masing-masing tidak bisa ditentukan hanya dengan waktu singkat itu. Kami sudah saling cinta, kawan. Sekarang kamu mulai bertanya-tanya, mengapa aku bisa merindukan seseorang itu. Ah, tanpa kamu tanya juga aku akan cerita. Alasannya jelas, sebagaimana pasangan pada umumnya. Lebih spesifik, sebagaimana mereka-mereka yang bertarung melawan jarak. Wah, memang. Dengan ini, aku tidak pernah menepis kalimatnya Dilan. Rindu memang berat. Sekali lagi. Rindu memang berat. Jarakku dan manusia ini, kekasihku, sekitar 11.188 km. Awas kalau kamu bilang ini dekat! Ya, memang sejauh itu. Ada kepentingan utaman

Aku masih bisa pulang

     Aku pernah lihat sekelibat perihal kalimat yang menyatakan bahwa, “rumah yang sebenarnya adalah berupa manusia” atau kurang lebih dalam Bahasa Inggris, “the real home is a person” , adalah kalimat yang benar. Apa hubungannya rumah dengan tema pada hari ini? Bagiku, rumah identik dengan kepulangan. Siapa pun yang menyatakan dirinya akan pulang, pasti akan menuju rumahnya masing-masing. Aku tidak peduli pada bentuk bangunan si rumah. Mau itu rumah, kontrakan, kosan, apartemen, rumah bibi, rumah nenek, atau apapun yang bisa kalian jadikan rumah, bukan itu. Itu hanya bangunan mati yang tidak memiliki makna. Yang paling berperan penting dan membuat bangunan itu menjadi hidup dan memiliki cerita adalah orang-orang di dalamnya. Bagaimana di sana ada orang tua, adik-kakak, nenek-kakak, bibi-paman, teman sebaya, dan pasangan, dialah yang kalian tuju. Dialah yang menjadi alasan mengapa kamu ingin pulang dan memutuskan untuk pulang ke sana. Aku masih bisa pulang. Ya, aku pulang ke rumah

Tanggapanku tentang Hari Valentine

“Hari Valentine bukanlah budaya kita.” Sebagai warga negara Indonesia, kita seringkali menjumpai kalimat ini. Dulu, kalimat ini maknanya tegas. Sampai-sampai menuai adu opini dan ditanggapi secara serius oleh warganet. Namun, semakin sering kalimat tersebut diulang setiap tanggal 14 Februari, semakin menggeser maknanya menjadi jenaka. Orang menjadi sering membercandakan sesuatu menggunakan kalimat itu untuk menjembatani kalimat selanjutnya. “Hari Valentine bukanlah budaya kita. Budaya kita adalah beli coklat sendiri, makan sendiri, posting sendiri dengan caption, ‘makasih, ayang’.” Salah satu contohnya. Kalau merujuk kepada sejarahnya, memang Hari Valentine bukanlah kisah yang membahagiakan. Aku tentunya sudah lupa, kapan aku membaca kisah ini saking pensarannya sejak dulu. Tapi, kalau tidak salah, ya, disebut sebagai hari kasih sayang dikarenakan sejarahnya yang mengisahkan dua sejoli yang saling cinta. Maka dari itu, keluarlah kesimpulan bahwa Hari Valentine ditandai dengan Ha

Memang aku yang ingin pergi

Hanya dengan mendengar katanya saja, aku langsung tahu harus menggoreskan apa di kertas tulisku hari ini. Tidak terasa, sudah hampir setahun aku pergi. Tapi, tidak satu momen pun terlupakan karena kepergianku menghasilkan pelajaran yang amat berharga dalam hidupku. Pergi memang sebuah pilihan, namun bukan berarti kepergian dapat melupakan segala-galanya. Aku percaya itu. Dimulai sejak tahun 2017, aku memutuskan untuk memulai hubunganku dengan seseorang yang kukenal dari kelompok KKN. Kalau kamu ingat, aku pernah menuliskannya di postingan tentang KKN , walaupun singkat. Selama itu kami menjalani hubungan dengan basis perasaan yang saling terbalaskan, tanpa memedulikan status. Tapi, barulah setelah meninggalkannya, aku sadar bahwa itu sudah merupakan hal yang salah sedari awal. Awal tahun 2021, dia sudah mulai aneh. Banyak hal-hal yang sebelumnya tidak pernah aku lihat di dirinya, tiba-tiba muncul dengan sendirinya. Tidak wajar apabila aku tidak bertanya kepada diri sendiri, “selama

Bicara juga butuh kemampuan

Bagiku, sebagian besar masalah tercipta karena adanya hubungan komunikasi yang buruk. Aku mengartikan komunikasi di sini sebagai “kemampuan berbicara”. Tentunya, berbicara di sini juga tidak hanya sebatas bersuara yang terdengar, namun juga tindakan apapun yang menyalurkan hal yang ingin disampaikan, baik itu secara langsung melalui mulut atau melalui perantara lainnya. Lalu, kenapa hadir sebuah hubungan komunikasi yang buruk? Karena pada dasarnya, tidak selamanya manusia memiliki kemampuan untuk bicara dengan baik. Bukan karena gagu atau disabilitas, melainkan berbicara pada saat dihadirkan lawan bicara. Hubungan komunikasi tidak bisa tercipta hanya dengan satu orang. Namanya juga hubungan, pasti berdua. Kalau sendiri, pastinya maunya hubungin dia, kan? Eh . Paling sering kita jumpai kasus seperti ini di zaman maraknya media sosial. Di mana seluruh masyarakat sudah tidak punya batasan untuk berbicara semaunya, sebebas mungkin ( selama tidak berbenturan dengan UU ITE, ya ). Di si

Buat apa?

Beberapa waktu lalu, ada sebuah keributan yang terjadi di dunia media sosial Indonesia perihal hak masyarakat untuk tetap pergi ke tempat keramaian. Objek percekcokan pada saat itu adalah tempat clubbing . Tentunya, ini menuai keberpihakan para warganet akan setuju atau tidak setuju. Pikiranku langsung tertuju pada hal-hal lain yang berirama sama, bagaimana dengan orang-orang yang memutuskan untuk tetap menggelar pesta di tengah bencana seram ini? Jawabannya, semua bisa terjadi. Masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, atau bahkan seluruh masyarakat di belahan dunia ini, rasanya sudah lelah menghadapi bencana yang sudah ada di tahun ketiga ini. Mereka terlalu lelah untuk menahan segala kegiatan yang tertunda dan merasa bahwa kali ini setidaknya mereka bisa merasakannya kembali. Belum lagi, mayoritas dari mereka sudah menjalankan perintah negara dengan melakukan vaksinasi sebagai upaya melindungi diri. Semakin menciptakan pemikiran bahwa mereka saat ini semakin baik-baik saja dan s