Rasa haru dan hangat di Lebaran 2022

Tidak hanya saya, tapi saya yakin bahwa mayoritas masyarakat Muslim Indonesia setuju bahwa Hari Lebaran tahun ini membawa kesan yang berbeda setelah dua tahun tidak diperbolehkan secara resmi oleh pemerintah untuk mudik. Kebersamaan yang sempat dijalin hanya melalui video call atau Zoom Meeting selama pandemi, kali ini akan dipertemukan secara tatap muka dengan sensasi yang melegakan dan membahagiakan. Saya salah satu yang merasakan berkah ini.

Memutuskan untuk pulang kampung ke Bandung dua hari sebelum Hari Lebaran, membuat saya kembali merasakan rasanya mudik walau hanya sekitar 140km jaraknya dari Jakarta. Sangat tidak sabar rasanya menyambut nenek di rumah dan menyicip masakannya, baik hari H Lebaran maupun sesampainya kedatangan saya ke sana.

Sebelum menyambut lebaran, di hari sama, saya bersama dengan sepupu-sepupu akan menghabiskan malam di salah satu villa daerah Dago sambil memanfaatkan waktu bersama. Lalu, sehari sebelum Lebaran, saya menginap di rumah nenek sembari membantu mempersiapkan kondisi rumah karena sudah dipastikan bahwa banyak tamu yang akan berkunjung.

Sampailah kepada Hari Raya Idul Fitri 1443 H. Diawali dengan salat ied di masjid kompleks rumah nenek, saya dan seluruh isi rumah menikmati hidangan yang sudah disajikan nenek dari dua hari yang lalu! Dengan senang hati saya menyebutkannya satu per satu agar yang membaca bisa menikmatinya pula walau hanya sebatas imajinasi, atau kembali teringat momen Lebaran tempo hari yang memang patut untuk dikenang.

Ketupat, kari ayam, ayam goreng, dan tumis sambal ati sapi adalah menu utama yang disajikan di dapur. Ditambah kerupung udang, kerupuk putih, dan emping yang menjadi menu pelengkap Lebaran yang keberadaannya tidak akan terlewatkan. Sambil menunggu kedatangan sepupu-sepupu, saya menahan diri untuk tidak sungkem pada nenek. Nanti saja, bersama dengan saudara lainnya agar serentak.

Setelah semuanya sudah berkumpul, prosesi sungkeman pun dilakukan. Seharusnya ada delapan anak nenek yang hadir, namun karena tiga orang berhalangan hadir (satu hadir namun terlambat), perkumpulan ini menjadi tidak utuh. Namun, bukanlah suatu masalah bagi kami. Bisa berkumpul di rumah nenek pada saat itu sudah menjadi momen Lebaran yang menyenangkan.

Masing-masing anak dan mertua berbaris sesuai dengan urutan umur, dari yang tertua sampai termuda. Barisan cucu mengikuti barisan orang tuanya. Agar lebih terasa suasana kampungnya, Teh Isma, dengan kemampuan inovatifnya seperti biasa, memasang instrumen tembang Sunda untuk mengiringi prosesi. Dimulai dari ayah saya, prosesi sungkeman dimulai.

Prosesi sungkem berjalan dengan jenaka. Banyak di antara kami yang saling lempar canda dengan pura-pura histeris menangis sampai ada yang tidak ingin “bersalaman” karena merasa dirinya tidak terlalu muda, sehingga ingin dianggap sepantaran. Lucu sekali menyaksikannya. Hal ini menyebabkan banyaknya tawa yang tercipta karena mungkin pertama kalinya hal ini dilakukan di keluarga kami sehingga terasa sedikit kikuk dan itulah cara kami para cucu untuk mencairkan suasana.

Setelah selesai, kami duduk bersama dan mendengarkan tausiyah yang disampaikan oleh ayah saya. Lagi-lagi, untuk pertama kalinya, kami melakukan hal ini dan salah satu om saya mengatakan bahwa tradisi ini akan dimulai dari tahun 2022. Selanjutnya, diharapkan akan dapat terus berjalan.

Materi yang disampaikan ayah adalah tentang tiga hal yang harus selalu diterapkan oleh kami sebagai manusia. Ya, sebenarnya tausiyah yang disampaikan ayah secara khusus diperuntukkan untuk saya dan seluruh sepupu yang hadir dan duduk bersama di hari itu. Tiga hal tersebut adalah memilah apa yang harus dibicarakan, menjaga apa yang harus diperbuat, serta meyakini suatu hal yang dipercayai. Terdengar filosofis memang, namun ini merupakan pelajaran dasar yang kebanyakan dari manusia tidak memahaminya dengan baik.

Saya akan membahas sedikit perihal tausiyah ayah dengan memberikan satu contoh. Sebagai manusia, tentunya kehidupan diatur dalam sebuah norma/aturan sosial. Ayah mengatakan bahwa pada saat berbicara dan bertindak, manusia memiliki batasan yang diatur di dalam norma. Maka, berbicara dan bertindaklah sesuai norma. Contohnya, “aku sembuh dari penyakitku karena aku mengonsumsi obat secara teratur”. Salah satu contoh dari berbicara sesuai norma sosial adalah seperti ini. Sudah menjadi aturan lumrah apabila sakit, harus meminum obat sebagai salah satu upaya untuk sembuh. Sekarang, bagaimana kalau tiba-tiba perkatannya berubah menjadi, “aku sembuh dari penyakitku karena Allah yang menyembuhkanku”? Kalimat itu tidak salah sama sekali, itu benar. Namun, apakah sesuai dengan norma sosial untuk mengucapkan hal demikian?

Ayah saya berkesimpulan kalau kalimat kedua tidak perlu diucapkan, namun perlu diyakini di hati masing-masing bahwa ini pula merupakan peran Tuhan yang menghendaki hambanya untuk sembuh. Obat hanyalah perantara, semua adalah kendali Tuhan. Dengan masyarakat yang semakin banyak mengucapkan apa yang seharusnya hanya diyakininya dan mengesampingkan norma sosial pada saat berbicara maupun bertindak, maka hal tersebut menjadi percikan api dari banyaknya kerusuhan yang pernah, sedang, atau akan terjadi di Indonesia. Saya sepakat. Tentang keyakinan, biarlah saya dan Tuhan yang tahu.

Ternyata, sesi duduk bersama keluarga Mahmud (nama belakang almarhum kakekku) tidak berhenti sampai di situ. Salah satu tanteku menyarankan untuk membuat sharing session antara anak dan cucu nenek dengan menyampaikan apa yang sedang dirasakan dan apa yang akan dilakukan oleh kami. Tentu kami panik, tidak tahu harus bicara apa dan mengapa tiba-tiba panggung jadi beralih ke kami dan kami menjadi artisnya? Setelah lempar melempar urutan bicara, selayaknya absen di setiap kelas, dimulai dari yang awal. Untuk kasus kami, dimulai dari yang tertua secara urutan orang tua—saya.

Saya tidak terpikirkan apapun pada awalnya, sehingga saya hanya bicara kalau saya mengharapkan momen ini untuk diterapkan setiap tahun. Karena saya sadar bahwa semakin besar seseorang, rasanya semakin tidak mengenali satu sama lain apabila tidak diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Dengan adanya sesi ini, akan membantu saya dan sepupu-sepupu lain saling mengetahui apa-apa saja yang sedang dialami dan dirasakan. Apabila berbicara tentang kecintakasihan keluarga ini, itu sudah lebih dari cukup. Walaupun saya sadari bahwa terkadang hanya sebatas tindakan, di momen inilah ucapan rasa kasih sayang dapat dirasakan secara langsung baik dari nenek, orang tua, maupun cucu.

Selanjutnya, saya juga memberitahu keluarga besar saya tentang apa yang menjadi pekerjaan saya sehari-hari. Bekerja di LSM yang fokus pada penanggulangan HIV, sudah menjadi pekerjaan sehari-hari bertemu dengan Orang Dengan HIV (ODHIV) dan populasi kunci, yakni Pekerja Seks Perempuan, Transgender, Lelaki Seks dengan Lelaki, Pengguna NAPZA Suntik. Saya menegaskan bahwa mungkin lingkungan yang tercipta terdengar tidak biasa di kalangan keluarga saya, namun saya menerapkan apa yang Ayah baru saja jelaskan. Saya meyakini apa yang saya yakinkan sebagai Muslim, saya tidak mengucapkan apa yang saya percayai pada saat bekerja, dan saya bekerja sebagai manusia yang mencoba untuk membantu sesame manusia.

Adik saya, Icha, adalah pembicara selanjutnya. Ia mengatakan bahwa sedang dalam proses mencari kerja setelah sudah berhasil lulus sidang akhir. Namun, ada keraguan di diri Icha terkait dengan korelasi gelar akademis dengan jenis pekerjaan yang akan diambilnya suatu hari nanti. Icha bilang bahwa dirinya sangat senang menulis, lalu apakah nanti akan menjadi masalah apabila ia menjadi penulis sehingga gelar akademisnya bisa dikatakan “tidak terpakai”? Icha adalah sarjana ilmu pertanian dengan mengambil jurusan Teknologi Pangan. Bagi saya pribadi, apapun itu yang menjadi pekerjaan, selagi memang patut dan bisa dijalani, tidak ada salahnya untuk diambil.

Selanjutnya adalah Teh Isma. Sepupu yang paling menaruh haru di setiap kata-katanya pada saat berbagi. Pertama kalinya air mata menetes di momen ini, begitu pula dengan tawa yang dalam sekejap menghilang. Teh Isma menangis, meminta maaf dan mengakui bahwa ia melakukan kesalahan yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Teh Isma bersyukur bahwa momen duduk bersama ini menjadi ajang bagi dirinya untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan dan pendam. Terlalu banyak untuk dituliskan di sini, atau mungkin butuh kertas tersendiri untuk menuangkan isi hati Teh Isma yang sangat berarti ini. Satu hal yang dikatakan oleh Teh Isma dan membuat saya amat bahagia adalah, Teh Isma sudah melawan dan berdamai dengan dirinya sendiri. Walaupun perlahan, namun terlihat hasilnya. Saya menangis dibuatnya. Beliau ini adalah sepupu terdekatku sejak kecil.

Sesi beralih ke Gary—adik dari Teh Isma. Perlahan kejenakaan mulai kembali dengan sesi yang dibawakan oleh Gary. Beliau mengatakan terima kasih yang sebanyak-banyaknya pada setiap orang yang berkontribusi dalam memasak makanan dan kue Lebaran karena belum ada yang mengapresiasi itu. Sepertinya postur tubuh Gary tidak bisa bohong, menunjukkan seberapa sukanya sepupu saya ini dengan makanan. Di luar sesinya, kami semua mengetahui bahwa Gary mengambil gap year untuk dapat menempuh perkuliahan di tahun ini. Kalian yang membaca, mohon bantuan doanya agar Gary dapat berkuliah di tahun ini. Aamiin.

Sekarang saatnya Kansa yang berbicara—adik dari Teh Isma dan Gary. Belum mulai Kansa berbicara, wajahnya sudah menahan tangis dan kalimat pertamanya dibuka dengan suara yang bergetar serta air mata yang mulai menetes. Suasana kembali berubah menjadi sendu. Kansa merupakan cucu yang paling abdi dan patuh kepada nenek, dalam artian menjadi tangan kanan. Tidur pun setiap malam bersama nenek, atas permintaan nenek. Namun, di sisi lain, Kansa memiliki titik lelahnya. Pada sesi inilah ia baru mengungkapkan bahwa ada masanya ia merasa lelah menjalani ini semua. Di saat usianya pun sekarang masih remaja, 17 tahun. Sebelum mengakhiri sesinya, Kansa bercerita bahwa ia memiliki ketertarikan dengan bahasa asing dan akan mengambil jurusan Sastra Jerman. Saya memohon doanya kembali untuk Kansa ya, kawan.

Sekedar informasi, Teh Isma bersaudara adalah anak yatim. Almarhum Papa Teh Isma meninggal tahun 2010 akibat kecelakaan kereta api. Hal ini pula, jujur saja, yang membuat saya selalu meneteskan air mata begitu Teh Isma dan Kansa mencurahkan perasaannya. Pilunya terasa sekali.

Sesi selanjutnya dipegang oleh Afga. Afga sukses membuat air mata saya kembali mengalir karena saya merasakan betul rasanya seperti itu, terutama sebagai anak sulung. Afga mengatakan bahwa ia merasa dirinya masih belum bisa berguna untuk keluarganya. Ia merasa belum bisa memberikan apapun, maka dari itu ia berbicara demikian sambil beruraian air mata. Paham, paham sekali rasanya. Afga juga mengatakan bahwa dirinya sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan baru, dalam usaha mencari pekerjaan dan menunggu panggilan wawancara. Kamu tidak sendiri, Afga. Semangat, ya!

Pembicara selanjutnya adalah Sheva—adik dari Afga. Tidak banyak hal personal yang diucapkan oleh Sheva, yang masih berusia 18 tahun. Ia mengatakan hal yang kurang lebih sama seperti saya, bahwa momen seperti ini harus dilakukan setiap tahun karena sangat berarti dan indah untuk dikenang di kemudian hari. Sheva pribadi senang memiliki momen seperti ini sebagai bentuk pertemuan rutin di Hari Raya. Sheva sedang menempuh Sekolah Menengah Atas tingkat 2, sama seperti Elmo dan Kansa.

Sesi dilanjutkan dengan Dio, yang sebelum bicara sudah melepas kacamatanya. Suaranya sudah bergetar, tangisan pun tumpah. Permasalahan yang sama dengan beberapa sepupu saya yang lain, ia merasa dirinya tidak berguna dan tidak memiliki nilai di mata orang lain (dalam hal mencari pekerjaan). Setelah penantian panjang 2 tahun sehabis lulus, akhirnya Dio berhasil mendapatkan pekerjaan. Namun, 2 tahun tersebut merupakan tahun yang amat tidak mudah bagi Dio yang awalnya memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi, terjun payung akibat tidak adanya kepastian pekerjaan yang memanggil. Efeknya, Dio jadi sering emosional. Sulit dirinya mengendalikan emosi yang berimbas pada dirinya dan orang tuanya yang adu mulut. Dio juga meminta maaf bahwa ini semua akibat dari kegundahgulanaannya terhadap ketidakpastian pekerjaan. Saat ini, dirinya bersyukur bahwa apa yang diinginkannya saat ini sudah tercapai. Tinggal menghadapi ujian-ujian lainnya dan Dio harus tahu bahwa Dio adalah orang yang hebat. Hanya saja, memang waktu yang dinantikan belum saatnya datang dan kita harus menunggu agak lama untuk itu.

Selanjutnya adalah Divya yang berbicara—adik dari Dio. Ia pun mengawalinya dengan tangis. Divya, sebagai anak bungsu dari sepupu-sepupu yang tua, terlihat sekali sisi bungsunya namun dikemas dengan rasa sedih mengingat dirinya yang perlahan menginjak dewasa. Divya mengatakan bahwa alasan mengapa dirinya masih bermanja di usianya yang 22 tahun karena Divya tidak ingin Mommy dan Daddy-nya merasa bahwa dirinya sudah besar. Ia ingin orang tuanya masih merasa dirinya masih kecil di saat ia sendiri pun merasa sedih karena orang tuanya semakin lama semakin menua. Sungguh, alasannya murni sekali. Divya juga menyampaikan bahwa dirinya sebenarnya lelah bertengkar terus dengan Dio. Ia juga ingin Dio sering ada di rumah agar rumah terisi penuh tanpa kekurangan satu anggota keluarga. Kebanyakan topik pembicaraan Divya adalah tentang keluarga, bahkan tidak menyinggung kehidupan pribadinya.

Yang terakhir, sesi ditutup oleh Zhia, sebagai cucu nenek dari anak nenek termuda ketiga. Zhia mengatakan bahwa dirinya memiliki kesukaan di bidang menulis, lebih spesifiknya tentang menulis script. Ia ingin menekuni kesukaannya dengan menulis dan terus menulis script. Selain cerita tentang dirinya sendiri, Zhia juga menyampaikan bahwa dirinya tersanjung dengan cerita kehidupan Teh Isma, Afga, dan Dio. Ia menyebutkan secara spesifik tentang bagaimana ia takjub dengan Afga yang dapat menjalani kehidupan seolah-olah tidak ada apa-apa dengan selalu tertawa dan menghibur semua sepupu. Padahal, Afga membawa beban yang sebegitu berat namun seperti dapat disimpan di depan orang lain. Saat ini Zhia sedang berkuliah setelah mengambil gap 2 tahun.

Setelah cucu-cucu selesai berbicara, saatnya om-om dan tante-tante menanggapi apa yang sudah dibagikan oleh para anaknya. Sekian banyak yang dibicarakan, ada satu hal yang saya simpan di otak karena ini sukses membuat air mata saya kembali mengalir. Salah satu tanteku bicara, “masalah berguna atau tidaknya seorang anak, tidak selamanya tentang harta. Kamu bawa senyuman ke rumah, membawa keceriaan, itu sudah lebih dari cukup. Itu sudah sangat berguna dan membahagiakan saya sebagai orang tua”. Sungguh, prosesi sungkeman ini benar-benar merefleksikan apa yang saya rasakan beberapa tahun belakangan. Tidak hanya saya, banyak yang tertampar dengan perkataan ini karena pada dasarnya, mungkin ini yang ingin kami dengar tapi tidak ada yang pernah mengatakannya sebelumnya. Saya sadar sekali bahwa makna dari senyuman dan keceriaan merupakan hal yang sangat sederhana.

Beruntungnya saya, saat ini, merasa lebih stabil baik fisik, mental, maupun finansial (mengingat saya sudah bekerja dan berpenghasilan tetap). Terasa sekali di saat tidak adanya penghasilan, segala pikiran negatif beterbangan di pikiran. Itu yang sedang dirasakan beberapa sepupu saya, yang juga saya rasakan pada fase tidak berpenghasilan tetap dan adanya beban untuk membantu keluarga yang masih menggantung. Untuk saat ini, saya ingin menjalankan pekerjaan saya dengan baik dan meniti karir sampai pada masanya saya harus berkembang dengan pindah ke tempat kerja baru.

Lebaran tahun ini penuh akan makna. Semua bentuk emosi dapat terpancarkan dan membuat semuanya merasa lega. Dimulai dari sedih, kecewa, tidak puas, sampai bahagia, semuanya terjalin di prosesi ini. Semakin besar keinginanku, seperti pula yang diucap Sheva, untuk menjadikan prosesi ini sebagai tradisi keluarga besar di setiap perayaan Lebaran. Semoga dapat dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan yang akan datang dan menghantarkan sesi yang penuh kehangatan dan kenyamanan. Insha Allah.

Setelah prosesi selesai karena nenek kedatangan tamu, sepupu-sepupu melakukan group hug. Cara yang ampuh untuk saling merangkul, menguatkan, dan mendukung satu dan yang lainnya.

Terima kasih telah menuntun keterbukaan ini, Lebaran 2022. Selamat tinggal dan sampai jumpa.

Comments

Popular posts from this blog

Perkenalkan, bencana terseram seumur hidup

Bukti-bukti Itachi dan Sasuke Saling Menyayangi

Kurcaci-kurcaci HI-C