Buat apa?
Beberapa waktu lalu, ada sebuah keributan yang terjadi di dunia media sosial Indonesia perihal hak masyarakat untuk tetap pergi ke tempat keramaian. Objek percekcokan pada saat itu adalah tempat clubbing. Tentunya, ini menuai keberpihakan para warganet akan setuju atau tidak setuju. Pikiranku langsung tertuju pada hal-hal lain yang berirama sama, bagaimana dengan orang-orang yang memutuskan untuk tetap menggelar pesta di tengah bencana seram ini?
Jawabannya, semua bisa terjadi. Masyarakat,
khususnya masyarakat Indonesia, atau bahkan seluruh masyarakat di belahan dunia
ini, rasanya sudah lelah menghadapi bencana yang sudah ada di tahun ketiga ini.
Mereka terlalu lelah untuk menahan segala kegiatan yang tertunda dan merasa
bahwa kali ini setidaknya mereka bisa merasakannya kembali. Belum lagi, mayoritas
dari mereka sudah menjalankan perintah negara dengan melakukan vaksinasi
sebagai upaya melindungi diri. Semakin menciptakan pemikiran bahwa mereka saat
ini semakin baik-baik saja dan sudah saatnya kembali ke kegiatan sedia kala,
walaupun secara perlahan.
Maka dari itu, clubbing terasa
tidak masalah. Menggelar pesta bukanlah sebuah resiko. Masyarakat yang berpihak
dirasa wajar. Masyarakat yang masih terus bertahan pada prinsipnya akan bahaya
bencana ini justru terlihat lebay, paranoid, atau bahkan tidak open-minded
karena tidak menghargai keputusan orang???
Ini aku yang disfungsi atau memang idealisme
tentang keamaan di masa ini yang sudah terdistorsi?
Kalau kamu tanya aku, aku tidak bisa
jawab. Terhitung sejak datangnya bencana ini, aku sudah beberapa kali hadir ke
pesta pernikahan teman dan aku hadir atas kesadaranku sendiri. Untuk yang satu
ini, aku bertaruh dengan rasa ingin datang yang amat sangat karena mereka
adalah teman-teman dekatku. Tentunya, dengan protokol kesehatan yang tidak
lengah sama sekali dan durasi yang singkat. Tapi, kalau untuk pergi ke tempat
keramaian seperti yang menjadi topik keributan tempo hari itu, aku tidak akan
mau.
Buat apa?
#CeritadiFebruariKe11
Comments
Post a Comment