Hujan Di Antara Ebi dan 'Ebi'
Aku duduk dan menikmati indahnya
suasana yang ku pilih sebagai tempat favoritku menghabiskan waktu sepulang
sekolah ataupun di hari libur, terkadang aku bersama seseorang pergi ke tempat
ini. Tempat ini tidak sepi, justru sebaliknya. Ramai, banyak orang
berlalu-lalang, suara bergemuruh dimana-dimana. Tapi aku tidak seperti mereka.
Aku sendiri. Menunggu datangnya hujan. Ya, hujan. Tujuanku datang kemari memang
menunggu hujan tiba. Ada beberapa keuntungan yang bisa dirasakan begitu hujan
tiba. Salah satunya yang selalu ku ingat adalah hujan dapat menutupi ekspresi
wajah seseorang. Terutama kalau menangis. Itulah kepintaran hujan. Dia bisa
menyetarakan air mata dengan tetesannya tanpa terlihat orang lain kalau
sebenarnya itu sebuah tangisan. Itulah yang sering ku alami.
Awan biru perlahan berubah menjadi
kelabu. Aku tersenyum begitu melihat awan yang sudah mendukung akan datangnya
hujan. Selang beberapa menit pasti hujan akan segera turun. Orang-orang
disekitarku perlahan mulai berkurang. Mereka berlari kesana-kemari agar tetap
pulang dalam keadaan kering. Berbeda sekali denganku yang sangat menginginkan
hujan dan selalu pulang dengan keadaan basah. Sekarang hanya ada aku seorang
disini. Perlahan hujan turun membasahi bumi dan seragam sekolahku sampai
seluruh tubuhku benar-benar basah. Aku tersenyum senang. Aku sangat menikmati
hujan di sore ini. Hanya sendiri. Bersama merdunya percikan hujan yang memantul
di jalanan.
*
“ Dia meninggal. Terpeleset begitu
hujan lebat kemarin. Motornya hancur dan dia tidak tertolong lagi.” Hanya
kata-kata itu yang dapat ku ingat sebelum ku tak sadarkan diri. Mina datang ke
rumahku sehari setelah hujan lebat di taman itu. Membawa kabar naas yang
seakan-akan membunuhku. Aku kehilangan kekasihku di usia hubungan kami yang
ke-25 bulan. Bukan waktu yang singkat pastinya. Aku masih tidak percaya akan
kenyataan ini. Sekarang apa yang harus ku perbuat? Aku belum melihat keadaan
terakhirnya. Bahkan dia dimakamkan pada saat ku tak sadarkan diri. Semua orang
pergi menyaksikan, termasuk Mina, Mama, dan Kak Gio. Aku sadar begitu mereka
sudah pulang dengan pakaian serba hitam. Disitulah tangisku tumpah untuk pertama
kalinya begitu mengetahui kabar itu.
*
Ebi. Lelaki yang sangat ku damba-damba
selama ini, pergi meninggalkanku dimana di hari yang sama aku sedang merasakan
kebahagiaan akan turunnya hujan. Kebahagiaan dan kesedihan di hari yang sama?
Ini tidak adil. Mengapa pada saat aku merasakan kebahagiaan Engkau malah
menambahkan kesedihan? Mengapa harus ada kesedihan setelah kebahagiaan? Mengapa
itu semua harus terjadi di hari yang sama? Tuhan, aku ingin jawaban dari semua
itu. Sekarang aku kehilangan Ebi dan hampir membenci hujan. Segalanya memang
sangat mudah berubah hanya karena keadaan. Dan aku merasakan itu.
Hari ini hari Sabtu. Hari dimana aku
dan Ebi menghabiskan waktu sore hingga malam di sini. Setiap Sabtu malam, Ebi
dan aku bergantian membawa makanan yang berbeda setiap minggunya. Sampai-sampai
makanan yang sudah pernah diberi kembali terulang karena seringnya kami
lakukan. Sekarang giliran Ebi. Ebi-lah yang harus membawa makanan malam ini.
Tapi aku tahu, dia tidak akan datang. Aku tahu mulai malam ini tidak akan ada
lagi jadwal Sabtu malam-ku dengannya. Tapi aku tetap datang ke tempat ini,
tetap melaksanakan kebiasaan kami walaupun sekarang hanya ada aku seorang. Aku
yakin Ebi sedang bersamaku sekarang, di lain dimensi. Ebi memerhatikanku, di
lain dunia. Tenang, Bi. Aku akan berada disini sampai waktunya kita pulang.
Ku lihat arlojiku yang ku lilitkan
di sebelah kiri, jam 19:00. Biasanya jam segini kau sedang menceritakan
kesehariannya selama seminggu penuh. Dari nilai-nilaimu yang semakin meningkat,
guru-guru yang memberimu penghargaan karena nilai fisikamu selalu bermain di
angka 9 ke atas, sampai ulah temanmu yang berpura-pura membakar buku fisikamu
agar kau terpancing emosinya. Itu kejadian yang paling ku ingat dari semua
cerita-ceritamu. Sekarang itu semua hanya terngiang di telinga. Hanya bisa di
ingat dan tidak bisa di dengar untuk kedua kalinya. Ebi, apa kau sedang mencoba
untuk bercerita denganku malam ini?
Satu hal yang sangat ku rindukan
malam ini, gitarmu. Aku rindu begitu kita lelah bercerita, kau langsung
memainkan sebuah lagu dengan petikan tulus gitarmu beserta suara lembutmu. Itu
yang membuatku ikut bernyanyi sampai-sampai orang disekitar kami memusatkan
perhatiannya hanya pada kami. Kau ingat itu, Ebi? Pada saat kau melantunkan
lagu Just The Way You Are dengan
tulus disertai senyuman mautmu. Rasanya aku sudah berada di langit ke tujuh
pada saat itu, dan kembali lagi ke bumi begitu mendengar tepuk tangan dari
orang-orang yang menyaksikan. Pada saat itu kau mengacak-acak rambutku dan
tersenyum manis. Aku masih ingat akan itu semua, Ebi. Apa kau masih mengingatnya
juga?
Tiga puluh menit sudah aku
menghabiskan waktu hanya untuk mengingat memoriku dengan Ebi. Itu terlalu
banyak. Aku mengingat-ingatnya karena saking banyaknya memori yang sudah tidak
tahan ku pendam, saking perihnya menerima kalau itu semua tidak akan pernah
terjadi lagi. Aku tau ini memang kenyataan. Aku bisa menerima kenyataan ini.
Tapi, jujur saja, aku belum ikhlas. Sama sekali. Aku masih membutuhkan Ebi di
sisiku. Entah sampai kapan aku bisa ikhlas. Aku tenggelam terlalu dalam sampai
ke dasar, sehingga susah sekali untuk mencapai daratan. Sekarang aku harus
mencapai daratan, dan berenang perlahan meninggalkan dasar lautan itu.
“ Kau sendirian?” Seseorang
membuyarkan lamunanku. Suaranya berat. Tanpa banyak bicara dia langsung
mengambil tempat disebelahku. Aku menoleh kearahnya untuk sepersekian detik dan
kembali menatap lurus ke depan. Aku mengangguk.
“ Sudah ku duga. Tatapanmu kosong.
Seperti sedang memikirkan sesuatu. Kalau kau bersedia, kau bisa ceritakan
padaku.” Apa-apaan orang ini?! Baru kenal sudah menyuruhku untuk menceritakan
masalahku padanya? Lancang. Dia tidak mengenalku dan aku tidak mengenalnya. Aku
memilih diam. Aku tidak ingin meladeni orang yang lancang seperti itu. “ Maaf
apabila aku lancang. Kalau ini memang privasimu, kau tidak perlu menceritakan.
Maaf sekali lagi.” Apa dia bisa membaca pikiran? Aku tidak tahu pasti. Aku
mengangguk memaafkannya. Setidaknya dia tahu apa kesalahannya tadi. Hening.
Tidak ada yang bersuara.
“ Coba kau lihat langit. Tidak ada
bintang malam ini. Tumben sekali.” Orang itu kembali membuka percakapan sambil
menengadahkan kepalanya menatap langit tanpa bintang. Dengan spontan aku
mengikutinya, melihat keadaan langit. Benar. Tidak ada bintang. Tidak biasanya.
“ Biasanya tidak seperti ini, loh. Setiap malam Minggu selalu berbintang.”
“ Mungkin saja ini menandakan akan
datangnya hujan. Jadi, wajar saja terjadi.” Aku bersuara. Masih menatap lurus
ke depan. Orang ini banyak bicara, tapi tidak menggubrisku. Aku senang caranya
berbicara. Tidak seperti orang cerewet, dia hanya ingin tahu.
“ Hmm benar. Namamu siapa?” Mungkin
pertanyaan ini yang ingin ia ajukan padaku sedari tadi. Pada akhirnya aku
mengalihkan pandanganku padanya. Aku melihat dirinya lekat-lekat. Aku lihat ada
tato salib terukir di tangan kirinya. Dan aku tercengang begitu melihat tato di
tangan kanannya. Aku hampir tidak bernafas. Terukir tulisan ‘Ebi’ di sana.
“ Namamu Ebi?” Tanpa menjawab
pertanyaannya aku menanyakan hal lain. Betapa kagetnya begitu melihat nama
‘Ebi’ juga dimiliki oleh orang lain.
“ Kau pasti melihat tatoku. Iya, itu
nama kecilku. Namaku Albert. Orang tuaku memberikan nama kecil itu agar aku
dapat menyebut namaku dengan mudah sejak kecil. Hey, maaf aku harus pergi.
Semoga kita bertemu lagi. Selamat malam.” Albert pergi meninggalkanku setelah
ada suara yang meneriakkan namanya dari kejauhan. Aku masih tidak percaya aku
menemukan nama ‘Ebi’ selain Ebi yang memiliki. Nama itu adalah nama yang aneh.
Tapi ada saja yang memilikinya selain Ebi. Perlahan rintik-rintik hujan turun
mengenai wajahku. Aku bangkit meninggalkan taman ini. Berlari secepat mungkin
meninggalkan taman sebelum turunnya hujan. Entah mengapa sekarang aku
menghindari hujan. Mungkin sekarang sudah waktunya diriku membenci hujan. Entah
mengapa, hujan sekarang yang turun malah membuatku melarikan diri dan tidak
ingin menikmatinya sama sekali. Tanpa ku sadari air mataku sudah bereaksi
dengan air hujan. Aku menangis dalam diam. Bayangan Ebi melintas dipikiranku.
Aku mengerti mengapa sekarang diriku membenci hujan. Hujan. Kau yang
membahagiakanku, dan kau juga yang menyakitiku.
*
Seperti hari-hariku biasanya,
sepulang sekolah tempat pelarianku tidak lain tidak bukan adalah taman. Aku
kembali menghabiskan waktuku dengan duduk terdiam dan iPod yang sudah
dihubungkan dengan headset beserta lagu-lagu indah yang melantun. Hari ini
terasa sejuk dengan cuaca berawan. Mungkin akan turun hujan nanti malam. Tapi
sebelum turunnya hujan, aku ingin menikmati suasana taman ini. Aku tidak ingin
bersama hujan lagi, mulai saat ini. Aku akan menghindar apabila hujan turun.
Dadaku sesak apabila mengingat semua itu. Sesaknya dada ditambah hadirnya sosok
Ebi kembali dipikiranku. Itu sangat menyakitkan.
“ Hey, kau yang kemarin kan?”
Seseorang bersuara berat itu kembali membuyarkan lamunanku. Aku masih hafal
suaranya. Ya, dia Albert. Dan benar saja, itu memang dia.
“ Iya. Kau Albert kan?” Ucapku
membalas ucapannya. Dia mengangguk dan mengambil tempat disebelahku. Aku
melepaskan headset agar lebih sopan dilihatnya. Mataku kembali menangkap ukiran
tato yang bertuliskan nama Ebi. Entah mengapa mataku terasa berair, pandanganku
sudah buyar tertutup air mata. Dan untung saja belum jatuh ke permukaan pipiku.
“ Iya benar. Namamu siapa? Eh, kau
kenapa? Mengapa kau menangis?” Ternyata dia menyadarinya. Dia menyadari kalau
sedari tadi aku membendung air mataku. Tanpa terasa semua itu tumpah ruah
dihadapan Albert. Albert bingung melihatku terisak-isak tiba-tiba. Dia
menggeser posisi duduknya, lebih mendekatiku. Dia membiarkanku menangis dalam
diam. “ Sekarang, kau bisa ceritakan semuanya.” Albert bertanya setelah
tangisku reda.
“ Nanti kau sendiri akan tahu.
Sekarang belum waktunya aku menceritakan itu.” Aku menjawab pelan. Ku lihat
Albert mengangguk mengiyakan.
“ Kalau begitu, untuk ketiga
kalinya, namamu siapa?” Dengan nada kesal yang dibuat-buat, Albert berhasil
membuatku tertawa. Secara tidak sengaja, Albert mencoba untuk menghiburku.
“ Oh iya, aku belum pernah
mengatakannya. Aku Zalfa. Perkenalkan.” Aku mengulurkan tanganku, Albert pun
membalasnya dengan senyum lebar.
“ Aku tidak perlu menyebutkan lagi
siapa diriku. Iya kan? Terserah kau ingin memanggilku apa.”
Waktuku habis oleh candaan-candaan
Albert yang sangat menghibur. Jujur saja, di balik tawaku aku masih menyimpan
rasa sakit yang mendalam. Salah satunya adalah aku lebih memilih memanggilnya
Albert. Karena Albert bukanlah Ebi.
*
Satu minggu
kemudian…
Aku tertegun begitu melihat kursi
favoritku duduk di taman ini sudah ada yang menempati. Biasanya tidak pernah.
Aku mengenali sosok itu. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak dengan celana jeans
hitam. Dengan rambut yang sedikit berjambul. Perlahan aku mendekat, mendekat,
dan…
“ Kau mau mengagetkanku? Hahaha.”
Albert langsung memutar posisi badannya dan mengagetkanku yan aslinya ingin
mengagetkannya. Ketahuan sudah. Albert memang lebih hebat.
“ Ketahuan deh.” Ujarku sambil
berpura-pura marah. Albert tersenyum jahil. Sepertinya dia menyembunyikan
sesuatu di balik tangan kirinya yang ia letakkan dibelakang punggungnya. Aku
mencoba untuk melihatnya. Namun tidak berhasil. Albert terlalu gesit untuk
menutupi sesuatu itu. Sampai akhirnya aku menyerah. Dia tertawa puas akan
kemenangannya.
“ Hahaha. Ini, aku bawakan martabak.
Kau mau?” Martabak? Darimana Albert tahu kalau aku sangat menyukai martabak?
Aku tercengang melihat apa yang ia bawa. Martabak telur. “ Hey, kau mau tidak?
Jangan diam seperti itu.”
“ Eh iya, aku mau!” Aku mengambil
satu martabak dan mulai melahapnya. Albert tersenyum sambil memerhatikanku. Aku
bingung dibuatnya.
Aku tidak menanggapinya lagi. Aku
sibuk dengan martabakku. Sesekali Albert bercerita tentang kesehariannya di
kampus, kesulitannya dalam menganalisis tumbuhan yang merupakan peralihan, dan
masih banyak lagi. Aku tidak terlalu mendengarkan, aku terlalu asik dengan
martabak telur yang sangat lezat ini. Aku berhenti mengunyah seketika begitu
mendengar petir. Awan keabu-abuan sudah mejalar di langit. Perlahan sore
menjadi gelap. Aku panik. Aku tidak ingin di sini sampai hujan tiba. Albert
menyadari keberadaanku yang sudah mulai tidak tenang.
“ Kau kenapa? Mau pulang? Jangan
panik seperti itu. Nih, martabakku masih banyak.” Albert menyodorkan kotak yang
berisi martabak itu padaku. Aku sama sekali tidak memikirkan martabak sekarang.
Aku benar-benar takut. Gemuruh petir pun terdengar lagi ditelingaku. Reflek aku
menutup telingaku rapat-rapat. Albert kembali bingung dan tidak tahu harus
berbuat apa. “ Ya sudah, aku ingin menceritakan sesuatu lagi padamu. Aku
sudah…”
“ Maaf, Albert. Aku harus pulang.
Terima kasih martabaknya, sampai jumpa.” Aku tahu beberapa saat lagi hujan akan
menyerang bumi. Aku berlari secepat mungkin menemukan taksi. Dan benar saja,
begitu aku memasuki taksi, hujan turun dengan derasnya. Dari dalam taksi aku
dapat melihat Albert yang berlari menyelamatkan dirinya dari hujan. Aku merasakan
sesuatu yang membuat jantungku berdegup lebih cepat.
*
Sebulan kemudian…
Aku memasang iPod-ku dan
mendengarkan lagu yang sesuai dengan suasan hatiku sekarang. Entah mengapa aku
memilih lagu One Thing – One Direction untuk didengarkan. Perlahan seulas
senyum tersungging tanpa disadari. Aku selalu tersenyum-senyum sendiri apabila
mengingat-ingat tentang…
“ Hey, kau tersenyum dengan rumput?”
Akhirnya orang yang ku tunggu-tunggu datang juga, setelah aku menunggu sekitar
20 menit. Aku makin akrab dengan Albert. Albert makin mengenalku jauh dari
sebelumnya. Albert mengetahui warna kesukaanku, makanan kesukaanku, penyanyi,
sampai tukang martabak kesukaanku pun dia sudah tahu. Dan setiap sore, Albert
selalu membawakannya padaku. Ada desiran halus di hatiku begitu dia memecahkan
lamunanku tadi.
Aku sudah menceritakan Ebi kepada
Albert. Albert pun tidak menyangka bahwa ada orang lain yang memiliki nama Ebi
selain dirinya. Dan Albert memaklumiku mengapa aku tidak memanggilnya dengan
sebutan ‘Ebi’. Karena tidak ingin suasana menegang dan membuatku mengingat
kembali pada masa lalu, Albert menghiburku dengan menyanyikanku sebuah lagu
yang benar-benar membuatku tercengang, Be My Wife – Tangga.
Albert memang sudah seperti kakakku
sendiri. Dia selalu ada disaat aku membutuhkannya. Lebih tepatnya, berada di
taman ini. Sejujurnya, aku dan Albert berinteraksi hanya di taman saja. Aku
tidak tahu nomer teleponnya, alamat rumahnya, ataupun identitas tentangnya yang
lain. Aku sempat heran, mengapa dia tidak menanyakan semua itu padaku. Mungkin
suatu saat dia akan menanyakannya. Aku tidak akan memulai duluan sebelum dia
yang memulai. Atau mungkin, Albert hanya menganggapku sebagai ‘anak SMA
penghuni taman’ yang harus diberi martabak setiap soren. Ah, aku tidak bisa
membaca apa yang ada dalam pikiran Albert.
Dia terlalu hebat menyembunyikannya.
“ Albert, apa… apa sekarang hujan
sudah turun? Aku merasakan tetesan yang menyentuh pipiku.” Albert menatap ke
langit dan membuka telapak tangannya, mencoba untuk merasakan tetesan hujan
yang turun. Benar saja, tetesan itu perlahan-lahan semakin cepat datangnya dan
turunlah hujan deras. Albert sudah terbiasa melihat kepanikan tersirat di
wajahku apabila hujan datang. Aku panik. Aku memutuskan untuk melarikan diri
sebelum hujan benar-benar deras.
“ Tunggu.” Albert memegang tanganku
dan menahanku agar tetap di tempat. Aku semakin panik disertai hujan yang
semakin deras. Aku meronta-ronta mencoba melepaskan genggaman tangan Albert,
dan sia-sia saja. Albert lebih kuat. “ Aku tahu kau sangat menyukai hujan.
Tetaplah di sini. Nikmatilah.” Nada bicara Albert berubah serius. Aku terpaku.
Aku tidak bisa mengucapkan sepatah dua patah kata pun. Aku teringat kejadian
sebulan yang lalu, dimana saat aku menikmati hujan seperti ini dan pulang
dengan kabar yang sangat mengenaskan. Albert memang hebat. Dia menyadari air
mataku yang perlahan turun walaupun sudah tercampur dengan air hujan. “ Tangisi
semuanya. Habiskan hari ini. Tapi, berjanjilah. Ini untuk terakhir kalinya kau
menangisinya.” Albert sangat mengerti bagaimana perasaanku. Albert mendekatkan
dirinya padaku dan memelukku di tengah derasnya hujan. Tangisku tumpah di dada
Albert.
Seseorang telah membuatku kembali
menyukai hujan. Seseorang telah mengubah hidupku dan hampir menyempurnakannya
kembali.
*
Dua bulan kemudian…
“ Kau tahu sekarang tepat dua bulan
kita berteman?” Albert memulai percakapan. Sore ini, sepertinya ada sesuatu
yang disembunyikan Albert dariku. Albert tidak membawa martabak. Nada bicaranya
santai, namun paras matanya tidak bisa bohong.
“ Ya, aku tahu. Ada apa?”
“ Ada yang ingin ku sampaikan
padamu.” Albert mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Secarik kertas.
“ Apa ini?” Aku menerimanya dengan
tangan yang sedikit gemetar.
“ Kau boleh baca ketika ku pergi.
Asal kau tahu, aku juga penghuni lama taman ini. Kau bisa mencariku bila kau
butuh.”
“ Maksudmu apa? Aku tidak mengerti,
Ebi.”
“ Maaf, aku harus pergi.” Albert
meninggalkanku tanpa izin. Aku sudah mulai terbiasa memanggilnya Ebi, semenjak
kejadian sebulan yang lalu. Aku mulai bisa menerimanya dalam kehidupanku
sebagai Ebi dengan sifat berbeda. Aku mulai merasakan getaran-getaran halus
setiap dirinya membuatku tertawa, setiap dirinya menyanyikanku sebuah lagu, dan
sekarang dia hanya meninggalkanku secarik kertas. Dengan penuh keberanian aku
membuka isi kertas itu. Tuhan memang pengertian. Hujan deras turun begitu aku
selesai membaca apa yang di tulis Albert di situ. Aku berlari tanpa ada yang
mengetahui bahwa air mataku sudah membanjiri permukaan wajahku. Aku menggenggam
kertas itu agar tidak basah. Agar setidaknya aku bisa membacanya lagi apabila
aku masih tidak percaya.
*
Setahun kemudian…
Dari kejauhan aku melihat sosok yang
sempat ku kenal 8 bulan yang lalu. Aku masih sangat mengingatnya. Aku tersenyum
dan membaca ulang tulisan dalam secarik kertas yang pernah ia berikan. ‘Zalfa, aku sudah bertunangan. Maaf,
hubungan kita tidak akan bisa berlanjut. Aku takut, aku takut mencintai wanita
lain selain tunanganku. Aku yakin kau pasti masih bisa menemukanku di taman
ini. Maafkan aku. Albert.’
Di seberang sana, dia juga
melihatku. Dia tersenyum padaku. Aku pun membalasnya, dan kontak beberapa detik
tersebut berakhir ketika seorang wanita menariknya pergi meninggalkan taman
begitu rintik hujan mulai membasahi bumi. Aku terpaku di tempat.
Aku bahagia, melihat Albert bahagia
bersama tunangannya. Aku bahagia, menikmati hujan sendiri di taman ini, seperti
yang sering ku lakukan dulu. Dan aku bahagia, tangisanku di balik hujan tidak
ada yang bisa melihat. Tidak ada yang bisa menyadari.
Hujan, aku sangat berterima kasih
padamu. Kau sangat berjasa.
Comments
Post a Comment