The Mysterious Sist-Angel :)
Based on the true story
Pagi itu,
Sabtu, 1 Februari 2014, aku berjalan tergesa-gesa menuju pangkalan tempatku
biasa menunggu angkot. Hari ini merupakan hari yang tidak biasa di sekolahku. Ini
juga yang menyebabkan diriku sangat tergesa-gesa begitu melihat jam di ponselku
yang sudah menunjukan angka 7.50. Aku sangat tidak ingin melewatkan kegiatan Career Day di sekolah hari ini. Acara Career Day disekolahku ini adalah
sosialisasi dari berbagai PTN di Indonesia. Terlebih lagi PTN favoritku juga
ada di acara ini. Aku tidak ingin terlambat dan tidak ingin meninggalkan
seperdetik pun acara itu. Dengan masih tergesa-gesa aku berjalan menuju
tujuanku.
“Dek,
kamu mau kemana?” tiba-tiba seseorang mengagetkanku. Seorang perempuan dengan
motor matic-nya yang secara tiba-tiba
berhenti disebelahku. Terlihat lebih tua beberapa tahun dariku, hmm, seperti
mahasiswi. Aku terdiam sejenak. Pikiran negatif mulai berkecamuk di otakku. Apakah
dia penculik? Apa dia sudah mengincarku dari tadi? Aku berani bersumpah kalau
aku tidak mengenal dia. Sama sekali tidak mengenal dia. Lalu, dia itu siapa?
“Dek,
mau kemana? Bareng sama saya aja,” ucapnya yang makin membuat degup jantungku
semakin berdebar. Dilihat dari wajahnya, tidak memungkinkan orang semanis dia
merupakan penculik. Lagipula, apa yang diinginkannya dari seorang pelajar yang
badannya lebih besar daripada dirinya sendiri? Tapi, otak kriminalitas tidak
mengenal lawan. Yang terpenting adalah hasil dan kepuasannya.
“Mau ke
sekolah, Kak,” ujarku hati-hati.
“Oh,
sekolahnya dimana?”
“Di
SMAN 1 Cikut, di Pilar, Kak.”
“Hmm
itu dimana, ya? Tunggu, tapi kamu mau ke depan, kan? Mau ke Jababeka III? Lewat
situ, nggak? Soalnya saya lewat situ. Ayo, bareng aja sama saya,” ujarnya
sambil tersenyum.
“Iya,
Kak, saya mau ke depan. Hah, bareng sama kakak? Emang kakak mau kemana
tujuannya?” Aku kembali berhati-hati. Bukannya aku suudzon pada kakak itu,
bukan. Aku hanya mengantisipasi diriku akan kejahatan yang sudah merajalela di Negara
ini.
“Saya
mau ke Tambun. Deket, kan, ya, dari Tambun?” Kakak itu terlihat bingung. Sepertinya
dia hanya mengerti daerahnya sendiri.
“Iya,
Kak, deket.”
“Ya
udah, ayo, naik,” tanpa berkata-kata lagi, aku langsung duduk di belakangnya. Aroma
minyak wangi bayi tercium sangat jelas saat kakak ini menarik gas motornya. Aku
mulai percaya kalau kakak ini tidaklah jahat.
“Kamu
kelas berapa, Dek?” tanyanya memulai percakapan.
“Kelas
12. Kakak sendiri kuliah?”
“Nggak,
saya udah kerja, hehe,” ternyata dugaanku
salah. Aku tidak percaya! Mana mungkin wajah semanis dan semungil kakak ini
sudah bekerja. Aku memutuskan untuk tidak menanyakan umurnya—walaupun aku
sangat ingin mengetahuinya.
“Oh,
iya, Kak. Kakak nggak apa-apa saya tumpangin gini?” tanyaku hati-hati.
“Iya
nggak apa-apa, santai aja. Orang kita satu jalur, kok. Nanti kamu turun dimana?”
“Turun
di pangkalan angkot 17, Kak. Di seberang Paparons itu, loh,” ujarku
memberitahu.
“Oh, di
situ. Oke, deh,” ujarnya mengerti.
Sepanjang
perjalanan kami terus berbicara. Aku penasaran dengan keberadaan kakak ini yang
tiba-tiba berada di Cikarang Baru. Ternyata dia memiliki kost di daerah Tapir
dan ia juga bekerja di Cikarang Baru—entah di perusahaan atau dimana aku tidak
bertanya. Dan dia juga bertanya seputar kegiatanku di sekolah yang sudah mulai
sibuk-sibuknya mempersiapak UN. Kami saling bertukar cerita, bahkan tertawa
bersama ketika membahas tentang kehidupan SMA yang ternyata membuka folder SMA
yang sudah lama terbengkalai di otak kakak ini. Sampai pada akhirnya, tujuanku
sudah mulai dekat.
“Yah,
Dek, ada polisi. Kamu sampe sini aja, ya. Saya takut kena razia. Kamu bisa,
kan, nyebrang sendiri? Hati-hati, ya, La,” dari nada bicaranya kakak ini
terdengar panik. Aku pun segera turun dari motor. Tujuanku memang hanya tinggal
menyeberang. Tapi, harus butuh kepercayaandiri dan insting yang tepat apabila
ingin menyeberang di zebra cross Pintu
Jababeka III ini. Jalanan ini banyak sekali bus dan truk yang lalu-lalang.
“Iya,
kak, bisa kok. Kan udah gede, hehe. Terima kasih, ya, Kak. Iya, Kak, kakak juga
hati-hati, ya, Kak,” aku mengajaknya bersalaman. Setelah berpamitan, motor
kakak itu perlahan menghilang dari
pandanganku. Aku terdiam beberapa saat. Ada beberapa
hal yang ternyata baru kusadari sekarang.
Dia sempat
memanggilku Ola. Padahal aku tidak memberitahu namaku karena dia tidak
bertanya. Ini… ini cukup mencengangkan. Lalu, pada saat bersalaman, dia
bersalaman padaku layaknya diriku yang sedang bersalaman dengan guru, ia
mencium tanganku. Padahal sudah jelas dia jauh lebih tua dibanding
diriku. Lalu,
mengapa semua itu terjadi?
Aku
kembali berpikir. Sebelum aku bertemu kakak itu, aku memohon kepada Allah agar
diriku tidak terlambat datang ke sekolah. Aku berdoa dan berdoa agar angkot
segera datang dan aku bisa segera berangkat. Dan Allah mengabulkan doaku lewat
kakak tadi. Kakak yang sama sekali aku tidak ketahui namanya. Kakak yang
tiba-tiba datang menolongku dan yang secara mengejutkan mengetahui namaku. Apakah
ini memang jawaban doaku dari-Mu, Ya Allah? Sungguh, aku sempat tidak percaya
bahwa ini semua telah terjadi. Bahwa pada akhirnya aku sampai di sekolah pukul
08.30 dan masih ada waktu 30 menit lagi sebelum acara di mulai. Bahwa ternyata
kakak itu memang asli manusia, bukan malaikat atau apapun. Bahwa ini semua
kenyataan.
Ya Allah,
hamba mohon. Lindungilah kakak yang telah menolong hamba tadi sepanjang
hidupnya. Berikanlah rezeki yang berlimpah akan balasan kebaikannya ini. Jagalah
selalu imannya agar dirinya tidak mudah melakukan dosa maupun zinah. Dan yang
terakhir, izinkanlah hamba untuk bertemu dengannya lagi dan ingin mengenalnya
lebih jauh, bahkan ingin menjadikannya teman. Karena, dia telah menolong orang
yang bukan siapa-siapanya atas perintah-Mu. Tolong kabulkanlah permintaan
hamba. Aamiin.
Comments
Post a Comment