a Silent Love (part VII)


Cerita sebelumnya bisa di baca di Continued Story :)

        “Senaaaaaang rasanya. Konser amal semakin dekat. Kita hanya memiliki dua hari terakhir untuk berlatih. Aku ingin mengakhiri latihan yang menyiksa ini.” Fani memelukku sangat erat sampai aku susah bernafas. Kalau Fani ingin cepat-cepat mengakhiri latihan rutin ini, mengapa aku masih ingin berlatih terus dengan Al yang sangat menyenangkan itu? Rasanya ingin sekali terus berlatih bersama Al. Bercanda mengenai beberapa hal yang dengan mudahnya membuatku tertawa, beradu pendapat mengenai musik klasik era Mozart, membahas lagu-lagu klasik yang paling kami sukai, dan masih banyak lagi.
“Entah mengapa aku masih ingin latihan rutin seperti ini, Fan. Sayang sekali sudah H-2. Tidak terasa, ya.” Aku memandang ke sekeliling ruangan musik ini. Semua orang sangat sibuk dengan persiapan mereka masing-masing, tidak dengan aku dan Fani yang mencuri waktu untuk berbincang sebentar.
       “Hah? Kau kenapa? Tumben sekali tidak ingin cepat-cepat selesai latihan. Apa kau beralih menyukai Al sekarang? Hahaha.”
“Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perasaanku, Fan. Aku hanya merasa kalau Al adalah teman yang baik. Dia mengerti tentang segala hal. Aku suka itu.” Aku meyakinkan Fani dan tersenyum begitu pandanganku menemukan sosok tinggi kurus yang sedang mengeluarkan biolanya bersama kembarannya.
  Teriakan Miss. Metta memberi kode bahwa kita harus siap di tempat masing-masing. Gladi resik akan segera di mulai. Fani berpamitan dan kembali ke tempat vocal group. Al belum juga menghampiriku. Sedangkan kedua orang yang berdiri 10 meter di depanku sudah siap dengan segala persiapannya. Aku belum pernah mendengar permainan Ardi dan El. Setiap latihan, yang ku lihat hanya Ardi yang memainkan biolanya. Sedangkan El hanya duduk manis mendengarkan permainan harmonis Ardi. Mengapa cara latihan mereka seperti itu? Aneh.
  Tiba-tiba Al sudah berada di sampingku dan masih terengah-engah. Seperti habis berlari beberapa ratus meter. Orang ini tidak kalah anehnya ternyata. Aku menahan tawa melihat Al yang terlihat lelah seperti ini. Wajahnya terlihat manis dengan beberapa tetes keringat di pelipisnya.
       “Darimana kau? Miss. Metta sudah berteriak-teriak untuk mulai gladi, kau malah menghilang.” Aku memulai pemanasan. Memainkan tuts-tuts dengan tenang.
  “Maaf, Papa mengantarkan partiturku tadi. Aku lupa membawanya.” Dengan nafas yang masih terengah-engah, Al mengeluarkan biola dan memposisikannya di bahu kiri. Dia mengatur nafasnya yang perlahan mulai kembali. Aku tertawa kecil menatap wajah terburu-buru Al yang sekarang sedang terburu-buru mengeluarkan biola dan memasang partitur dengan stand yang sudah tersedia. Dia orang yang menyenangkan.
  Sepasang mata itu kembali memerhatikanku walau diriku sendiri tidak berani memastikan dengan pasti apakah mata itu benar-benar memerhatikanku. Aku tidak berani memalingkan pandanganku ke arah sepasang mata itu.
“Ayo, mulai.” Al sudah meletakkan biola di bahu kirinya dan menunggu aku memainkan intro. Al mengerutkan alis begitu menyadari tidak ada reaksi apapun dariku. Dia mendekatkan wajahnya dan menatapku dengan alis mengkerut. Seperti layaknya seorang kakak yang terheran-heran melihat adiknya melamun. Aku tersontak kaget begitu menyadari wajah Al sudah berada di depan wajahku beberapa sentimeter. Al tertawa lepas. Kembali ia meletakkan biola dipangkuannya dan memposisikan kursinya menjadi berhadapan denganku. Aku sudah tahu jenis senyum yang Al keluarkan ini, senyum jahil yang berhasil bisa membuat wajahku terasa panas.
“Kenapa kau letakkan biolamu di situ? Ayo, kita main.” Aku menyusun halaman patitur yang sempat tadi ku baca-baca. Aku tidak menghiraukan Al yang senyum jahilnya itu semakin lama semakin menjahili.
“Hey, bagaimana kita memulai kalau kau melamun seperti tadi?” Al kembali menggodaku dengan nada dan senyum jahil yang belum pudar juga dari bibirnya.
“Aku melamun juga karena kau terlalu lama bersiap-siap.” Aku menatap sinis pada Al yang malah makin bertingkah dengan senyum jahil yang ku benci itu.
“Kau yakin? Bukan karena... seseorang?” Al membuat tanda kutip pada kalimat terakhir menggunakan tangannya sambil tetap tersenyum jahil. Aku menelan ludah. Tidak ingin menjawab apa yang baru saja Al tanyakan yang jelas-jelas benar. Jangan sampai Al mengetahui semuanya hanya dengan melihat gerak-gerikku. Satu detik. Tiga detik. Lima detik. Aku menyerah. Al tertawa pelan, seperti kakak yang mengetahui rahasia kecil adiknya yang menyukai seseorang, “oh, iya. Aku lupa. Tidak pernah ada wanita yang mengaku kalau dia mencintai seseorang sebelum seseorang itu menyatakannya terlebih dahulu. Atau orang lain yang menebaknya dan lebih tidak ingin mengakui kalau tebakkan itu benar. Iya, bukan?” Sial. Al menebak semuanya.

To be continued :)

Comments

Popular posts from this blog

Bukti-bukti Itachi dan Sasuke Saling Menyayangi

Perkenalkan, bencana terseram seumur hidup

Kurcaci-kurcaci HI-C