Persembahan Terakhirku Untuk Pak Anda
Teruntuk Bapak Satpam yang pengorbanannya tak lekang oleh waktu.
Pak, ini saya Zsahwa Maula. Saya murid di SMA tempat Bapak bekerja. Mungkin Bapak tidak mengenal saya, tapi saya hafal betul apabila ada seseorang yang bertanya mengenai ciri-ciri Bapak. Mengenal saya atau tidak, itu tidak penting. Selagi Bapak masih tersenyum setiap pagi dan sepulang sekolah, saya sudah sangat senang.
Pak, bagaimana caranya agar saya bisa tersenyum ikhlas seperti Bapak? Apa syaratnya, Pak? Ah, saya tahu. Hanya Bapak yang memiliki senyum tulus yang selalu Bapak keluarkan apabila bertemu seluruh murid SMA. Apalagi mata sipit Bapak yang ikut mengatup apabila Bapak tersenyum. Itu yang selalu saya ingat, Pak. Yang sama sekali tidak bisa dilupakan setiap kali saya mendengar nama Bapak.
Pak, setiap kali saya melihat Bapak, Bapak selalu memasang wajah ceria. Setahun lebih saya bersekolah di sana, saya tidak pernah melihat raut wajah Bapak yang sedang memendam amarah. Tidak pernah. Apa Bapak tidak pernah marah? Atau Bapak sengaja tidak menunjukan kepada kami kalau sebenarnya Bapak tidak suka? Ah, hanya Allah dan Bapak yang tahu, saya tidak berhak tahu, Pak. Tapi, saya kembali ingin bertanya kepada Bapak. Bagaimana caranya tersenyum setiap hari walaupun hati tidak memungkinkan untuk tersenyum? Rasanya ingin sekali mendapat jawaban langsung dari Bapak.
Pak, menjaga amanat itu tanggung jawabnya besar. Sangat besar. Bapak sudah berhasil melakukannya untuk beberapa tahun terakhir. Saya salut, Pak. Menjadi satpam memang tidak mudah. Berdiam diri sambil memantau keadaan, apakah aman atau tidak. Tapi, Bapak ikhlas melakukannya. Sampai-sampai ikhlas mengorbankan nyawa Bapak sendiri demi sekolah kami.
Pak, demi Allah, saya kaget begitu mendengar berita bahwa Bapak telah di panggil ke Rahmatullah. Kabar itu sampai di telinga saya sekitar jam 9, dan perasaan saya benar-benar berkecamuk. Ini aneh, Pak. Bapak tidak mengenal saya, begitupula saya yang hanya mengenal Bapak sebagai satpam sekolah. Kami tidak pernah membicarakan hal yang lebih jauh. Saya masih ingat percakapan yang selalu saya dan Bapak lakukan,
“Pak, saya mau foto copy di depan.” Bapak membalas, “iya.” Atau anggukan beserta senyuman khas Bapak. Atau,
“Duluan ya, Pak.” Dengan senyum yang khas yang membuat saya ingin ikut tersenyum Bapak membalas, “eh, iya.”
Hanya itu kata-kata Bapak yang sering Bapak lontarkan pada saya, dan mungkin pada murid-murid yang lain kalau mereka berkata demikian. Tapi, walaupun hanya seperti itu, yang saya rasakan... saya merasa sangat kehilangan seseorang yang begitu berjasa, Pak. Saya sungguh sangat kehilangan Bapak. Rasanya seperti mimpi. Rasanya seperti ini sebuah kabar burung yang berasal dari mimpi. Tapi, begitu melihat orang-orang membicarakan Bapak. Dengan berat hati saya harus percaya.
Pak, saya sempat melihat keadaan terakhir Bapak melalu foto. Tiga tusukan di bagian dada dan luka sayatan di pipi Bapak. Astagfirullah al ‘adzim, siapa yang tega membuat Bapak seperti ini?! Si perampok tidak berotak itu? Yang dengan mudahnya menusuk Bapak dan merenggut nyawa Bapak dengan mudahnya? Saya tidak rela, Pak. Saya benci perampok laknat itu! Apa salah Bapak? Mengapa harus Bapak yang menjadi korban?! Mengapa harus sekolah kami yang menjadi sasaran perampok laknat itu?! Sungguh, akal sehat saya tidak mampu memikirkan ujung dari persoalan ini.
Pak, bagaimana keadaan keluarga Bapak? Pertanyaan itu yang selalu terngiang di telinga saya setelah mendengar berita tentang Bapak. Seluruh warga Indonesia tahu bahwa sekarang adalah bulan Ramadhan dan besok adalah Hari Idul Fitri. Orang bodoh pun tahu, membunuh orang itu dosa, apalagi di bulan suci Ramadhan. Berapa kali lipat imbas yang akan diterima si pelaku? Dia sangat berdosa, Pak! Membunuh orang sebaik Bapak di bulan suci seperti ini. Perbuatan laknat!
Pak, saya sangat berterima kasih, atas pembelaan Bapak pada sekolah kami. Walaupun nyawa Bapak sendiri yang menjadi taruhan, itu bukan sembarang pengorbanan, Pak. Bapak rela mengorbankan nyawa Bapak sendiri demi sekolah kami, dengan kata lain, demi... kami. Semua itu Bapak lakukan demi kami! Pak, sungguh. Kalau memang dari awal ini dapat membahayakan nyawa Bapak, lebih baik jangan, Pak. Bapak tidak perlu bertindak. Nyawa Bapak jauh lebih berharga di banding harta-harta yang tersimpan di dalam gedung luas itu! Tapi sayang, Allah ingin bertemu dengan Bapak lebih cepat. Siapa yang bisa mencegah?
Pak, jasa Bapak akan selalu saya ingat. Begitupula dengan murid-murid lainnya, pasti mereka juga akan melakukan hal yang sama dengan saya. Jasa Bapak yang membantu murid-murid menyebrang jalan apabila jalan raya begitu padat, jasa Bapak yang membantu murid-murid yang kesusahan memarkir/mengeluarkan motor mereka, jasa Bapak yang selama ini sudah menjaga sekolah kami dari jahatnya orang-orang luar, dan yang terakhir, jasa Bapak yang mengorbankan nyawa Bapak demi sekolah kami, demi kami.
Pak, saya hanya murid biasa yang ingin mempersembahkan curahan hati kecil ini untuk Bapak. Walaupun saya tidak bisa memberikan secara langsung, tapi saya harap Bapak bisa mengetahuinya di sana. Selamat jalan, Pak Anda. Saya yakin Allah sudah menyiapkan tempat yang paling indah untuk Bapak di sana. Semoga Allah memberi hikmah di balik cobaan yang menimpa keluarga dan rekan-rekan Bapak, amin
sangat menyentuh
ReplyDeletehehehe makasih kak ><
ReplyDelete