a Silent Love (part VI)


Cerita sebelumnya bisa di baca di Continued Story :)

“Lana, Ardi, perkenalkan. Ini Alfario dan Elline. Mereka biasa dipanggil Al dan El. Mereka dari sanggar musik yang bekerja sama dengan sekolah kita untuk menggelar konser amal. Lana, kau akan berduet dengan Al. Dan kau, Ardi, akan berduet dengan El. Ayo, kalian bisa latihan sekarang.” Miss. Metta memperkenalkanku dengan dua orang yang ternyata menjadi pasangan duetku dan Ardi. Ternyata selama ini benar, perasaanku yang belum sepenuhnya percaya kalau Ardi yang akan menjadi pasanganku nanti. Dan benar saja, aku memang tidak berduet dengan Ardi. Aku akan berduet dengan Al. Aku tidak tahu siapa Al, apalagi mengenalnya. Mungkin pada latihan pertama nanti, aku akan mengetahui seperti apa sosok Al nanti.
                Aku mengajak Al menuju piano. Aku tidak banyak bicara, begitu pula dengan Al. Ini hari pertama, mungkin saja Al belum menunjukkan sosok aslinya dihadapan orang yang baru ia kenal. Sejauh 10 meter di depanku aku menangkap sosok laki-laki tinggi bersama perempuan tadi. Aku belum melihat El memegang alat musiknya. Apa dia bermain piano juga sama sepertiku? Atau dia adalah penyanyi? Ah, aku tidak tahu. Aku ingin berkonsentrasi untuk duet kali ini.
                Entah mengapa aku merasa kecewa. Aku benci hal ini. Sudah pernah aku katakan kalau aku benci  hal yang ku kira benar dan ternyata salah. Ingin sekali aku melempar mie ramen panas ke mulut Fani yang dengan percaya dirinya meyakinkanku. Kenyataannya 180 derajat berbeda.
                “Hey, mengapa melamun? Sudah siap?” Al menyadarkanku. Tidak terasa ternyata sedari tadi pikiranku mulai berkenala. Al sudah siap dengan biolanya. Dia sudah meletakkan biolanya pada bahunya dan tangannya sudah memegang bow dengan posisi yang pas. Al tersenyum ramah padaku.
                “Hmm, maaf. Aku hanya… sedang memikirkan sesuatu. Ayo, kita mulai.”
                “Tunggu, tunggu. Kita tidak akan bisa bermain kalau pikiranmu bukan ke sini. Kalau kau tidak keberatan, kau bisa menceritakannya padaku.” Nada bicaranya sangat ramah, sangat bersahabat. Aku yakin dia orang yang mudah bersosialisasi dengan orang yang baru ia kenal, tidak sepertiku yang butuh beberapa minggu hanya untuk bersosialisasi.
                “Tidak, tidak ada apa-apa. Ayo, kita mulai.” Tanpa menunggu reaksi Al aku langsung bergegas  melakukan pemanasan. Setelah sekitar satu menit aku memainkan rentetat tangga nada mayor dan minor, aku mulai memainkan lagu.
                Aku kembali melatih penghayatanku. Aku memainkan dinamika sesuai dengan bagian lagunya, termasuk apa yang baru Ardi beritahu tadi. Ketika lagu sudah berjalan sekitar 3 menit, masuklah suara biola. Al mulai menggesek lembut senar biola. Aku mencoba menyatukan jiwaku pada alunan biola yang Al ciptakan. Ternyata seperti ini rasanya bermain dengan partner yang belum di kenal. Kita harus saling bekerja sama menyatukan jiwa kita masing-masing ke dalam alunan musik agar terdengar indah. Cara bermain Al dan Ayah berbeda. Al lebih banyak gerak dan itu tidak mempengaruhi nada-nada yang tercipta. Tidak terdengar goresan nada fals dengan cara bermainnya yang seperti itu. Ini membuatku semakin bersemangat memainkan lagu ini, dan melupakan kekecewaanku sejenak.
                “Ya, kira-kira seperti ini nanti pada saat kita tampil. Lagu yang panjang, tapi kalau dihayati tidak akan terasa. Benar, kan?” Al berbicara begitu permainan kami selesai. Ia memangku biolanya dan mulai mengajakku berbicara.
                “Benar. Tidak terasa lagunya sudah selesai.” Aku menjawab seadanya. Aku tahu Al orang yang ramah. Masalahnya memang diriku yang belum bisa dengan cepat beradaptasi dengan orang asing.
                “Ya sudah, kita istirahat dulu. Aku boleh menanyakan sesuatu?” Sepertinya Al sedang melakukan pendekatan agar suasana tidak kikuk seperti ini. Rasanya susah sekali untuk bicara duluan dengan orang asing. Aku mencoba untuk lebih terbuka, aku akan meladeninya. Aku yakin Al bukan tipikal lelaki nakal seperti kebanyakan lelaki lainnya.
                “Boleh. Silahkan saja.” Aku melemparkan senyum kecil kea rah Al dengan tatapan ramah.
                “Sejak kapan kau bermain piano?”
                “Sejak 5 tahun. Ayahku sangat menginginkan anaknya bisa bermusik. Karena aku perempuan, mungkin lebih cocok memainkan piano. Jadi, itulah sejarahnya. Kalau kau sendiri?” Aku mencoba bertanya. Sejujurnya aku juga ingin mengetahui seluk-beluk Al dalam dunia musik.
                Well, aku belajar biola sejak 7 tahun. Entah mengapa orang tuaku memutuskanku untuk bermain biola. Sama sepertimu, sejak 5 tahun aku sudah terjun ke dunia musik, dan aku memainkan piano. Mungkin karena bukan takdirku di piano, orang tuaku menjadikan El sebagai pianis. Jujur saja, aku lebih menyukai biola daripada piano. Biola itu sederhana. Hanya dengan gesekan lembut dan perasaan, nada-nada merdu akan tercipta.” Aku tercengang mendengar kalimat-kalimat terakhirnya. Ternyata Al bukan sembarang violinis, dia memang sudah lama bergelut di dunia musik. Sama sepertiku.
                “El? Kau dan El ada hubungan apa?” Aku penasaran. Dan ini salah satu pertanyaan yang ingin ku sampaikan padanya.
                “Oh, Miss. Metta pasti lupa memberitahu. Kami saudara kembar. Hanya saja aku lahir 7 menit lebih dulu dari El. Yaa, orang-orang biasa menyebut kami dengan sebutan ‘Duet Si Kembar’.” Aku tertawa kecil begitu melihat jemari Al membentuk tanda kutip di akhir kalimat. Al bisa saja membuatku sedikit terhibur. Al orang yang ceria, sedangkan Ardi orang yang dingin. Mereka berdua sangat berbeda. Tidak! Tidak ada gunanya aku membanding-bandingkan mereka.
                “Sebutan yang bagus, bukan? Kalau begitu, lain kali aku harus mendengar Duet Si Kembar memainkan sebuah lagu. Pasti memuaskan!” Aku tersenyum memuji Al dan El. Aku penasaran dengan penampilan mereka nanti.
                “Lain kali kalau aku ada panggilan, kau akan ku beritahu. Tapi ingat, kau harus datang ya! Dengan orang yang itu juga. Temanmu.” Pandanganku mengikuti arah telunjuk Al yang ternyata tertuju pada seorang pemain biola di sana. Tubuhku terasa membeku. Aku hanya berharap agar Al tidak menyadarinya. Jantungku berdetak lebih cepat dengan sendirinya. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana jadinya bila aku menonton konser hanya bersama Ardi. The most awkward moment.
                “Akan ku usahakan.” Aku memaksakan senyum agar perasaan bergejolak ini dapat tertutupi. Al mengacungkan jempolnya, tanda setuju. Lalu kami melanjutkan percakapan sampai Miss. Metta kembali memanggil kami dan memberitahukan jadwal latihan rutin. Dari sini aku sudah bisa mengenal karakter Al. Orang yang ramah, terbuka, dan ceria. Bila suasana kaku, dia pasti akan mencairkan, bagaimanapun caranya. Satu hal yang tidak aku inginkan dari Al, jangan sampai dia bisa membaca pikiran ataupun membaca gerak-gerik seseorang.
                Aku merasa ada sepasang mata yang memantauku saat aku dan Al sedang tertawa bersama. Aku rasa dia memandangku cukup lama. Tapi, entah ini perasaan atau kenyataan. Aku payah dalam masalah hal tebak-menebak. Kali ini, aku sangat butuh Fani untuk memastikan benar atau tidaknya perasaanku ini.
                                                                            
                                                                                *

To be continued :)

Comments

Popular posts from this blog

Bukti-bukti Itachi dan Sasuke Saling Menyayangi

Kurcaci-kurcaci HI-C

Perkenalkan, bencana terseram seumur hidup