a Silent Love

Aku memandangi sosok yang berada di depanku yang sedang sibuk memainkan biola dan membolak-balik partitur yang berada di depannya. Jaraknya dengan jarakku… hanya berkisar 10 meter. Aku hanya bisa memandang, karena inilah hal yang akan dilakukan kebanyakan wanita apabila mereka tidak bisa mengutarakannya dengan kata-kata. Terdiam dan hanya memandang. Mau tidak mau aku harus tetap konsentrasi pada partitur yang Miss. Metta berikan untuk konser amal minggu depan. Tidak butuh waktu lama untuk mencerna partitur itu, aku sudah terbiasa membaca not-not indah pada partitur sejak usiaku masih menginjak 5 tahun.
                “Ya ampun. Lagi-lagi kau memerhatikannya.” Fani mengagetkanku. Tiba-tiba sosoknya sudah berada di sampingku dan mengambil partitur yang sedang ku pelajari.
                “Entah mengapa sosoknya mengagumkan.” Aku tersenyum dan memainkan beberapa bar dari partitur yang sedang ku pelajari. Bagian yang ku sukai di lagu ini, ku mainkan berulang-ulang.
                “Memang belum banyak yang tahu kalau ternyata dia bisa bermain biola. Kita salah satu orang yang beruntung mengetahuinya. Di mata orang, dia hanya di kenal sebagai ketua OSIS dan atlet bulutangkis.” Ya, aku tahu itu. Semua orang mengenalnya. Dia ramah terhadap semua orang, dia baik, penolong, dan… lembut. Terlihat dari caranya bermain biola.
                “Beruntung? Hahaha. Kau kira dia siapa? Artis bukan, ilmuwan bukan. Darimana kau bisa sebut kita beruntung?”
                “Walaupun bukan artis dan ilmuwan, mengetahuinya bisa bermain biola saja kau senang, bukan? Mengetahui sesuatu yang orang tidak ketahui bukannya bisa disebut beruntung, Lan?” Skak mat. Aku memberhentikan permainanku dan melihat raut wajah Fani yang tersenyum puas. Dia benar. Mengetahuinya masih bermain biola, aku sangat senang. Mengetahui bahwa ada seseorang yang benar-benar memiliki dua kepribadian yang berbeda. Itu semua dia miliki, “nah. Aku yakin kau pasti mengerti. Kau sudah bisa menyimpulkan bagaimana perasaanmu sekarang, kan?”
                “Aku sudah menyimpulkannya sejak lama.”
                “Hah? Sejak kapan kau menyimpulkannya?”
                “Kelas 9. Aku satu sekolah dengannya saat SMP. Sudah sejak dulu aku bermain bersamanya. Kami satu group sejak dulu. Begitu SMA, aku tidak percaya dia masih bermain biola. Dia yang sekarang sudah menjadi ketua OSIS, atlet bulutangkis, tidak mungkin memikirkan biola lagi. Tapi nyatanya, aku salah. Dia masih seperti dia yang dulu apabila sedang bermain biola.” Mataku tidak ingin lepas memandangi sosok yang berada 10 meter di depanku. Entah dia sadar atau tidak, aku tak peduli.
                “Mengapa kau tidak pernah cerita??? Dan sekarang kalian sudah kelas 11. Seperti orang yang baru kenal sekarang. Kalian tidak terlihat akrab.”
                “Karena kau tak bertanya. Yaaa itulah dia. Dia jarang terlihat bersama wanita. Mungkin dia tergolong orang yang tidak memikirkan keberadaan wanita untuk dirinya sendiri. Aku belum pernah melihat wanita yang dekat dengannya. Sekalinya ku lihat hanya karena Miss. Metta memintanya untuk mengiringi seorang wanita bernyanyi. Setelah dia selesai menjalani tugasnya, dia kembali seperti biasa dan tidak meninggalkan jejak kedekatannya dengan siapapun.”
                “Oh, aku mengerti. Kalau di pikir-pikir, susah juga mendapatkannya. Iya kan, Lan? Hahaha.” Aku tahu sekali Fani ingin menggodaku dan membuatku putus asa. Tapi candaan itu sudah sering ku dapatkan, jadi tidak jadi masalah untuk sekarang.
                “Siapa juga yang mau mendapatkannya? Cukup diam saja dan membuatnya mengenalku.” Ujung bibirku tertarik ke atas. Ku lemparkan senyumanku untuk seseorang yang berada di 10 meter di depanku.
                “Yakin? Kau mencintainya, bukan? Eh, bukannya dia mengenalmu?”
                “Kau pasti tahu jawabannya. Dia tidak mengenalku, dia hanya tahu. Tahu dan kenal itu berbeda.” Aku menyanggah. Dia memang tidak mengenalku. Kami jarang berbicara. Tapi, terkadang pandangan kami bertemu. Ini yang membuatku semakin dan semakin mengaguminya sampai keluar batas mengagumi.
                “Ooooh. Lain kali aku akan membedakan mengenal dan mengetahui. Ya sudah, semoga ada perkembangan antara hubungan kalian. Kalau memang kalian benar jadi, akulah orang yang sangat berjasa. Hahaha.” Fani berdiri dan beranjak pergi menuju vocal group.
                “Berjasa? Jasa apa yang telah kau buat? Kau gila, Fan.” Aku tersenyum kecil dan kembali memainkan lagu pada partitur dari awal. Mencoba untuk kembali berkonsenterasi sambil sesekali melirik ke depan.
                Fani menghentikan langkahnya dan berbalik, “apa kau ingin aku bertindak sekarang juga? Kaulah yang lebih gila karena lebih memilih diam daripada bertindak. Sudahlah, kalau orang sedang jatuh cinta memang tidak bisa berpikir jernih. Terbukti, kan?” Ku akui Fani sangat hebat. Harus ku akui kalau semua yang telah dia ucapkan adalah benar. Aku membalikkan badan dan menatap lurus pada Fani yang sedang menahan tawa.
                “Ku biarkan kau menang untuk kali ini.”
                “Sebuah kejadian langka. Seorang Lana menyerah melawan Fani yang lebih berpengalaman dalam masalah percintaan. Hahahaha.” Fani berlari menyelamatkan diri agar aku tidak menerkamnya. Kata-katanya membuatku tidak berhenti tersenyum. Fani memang sudah berpengalaman, wajar saja dia mengetahui segala sesuatu yang ku rasakan.
                Aku kembali membalikkan badanku dan melanjutkan memainkan lagu. Namun, sosok yang sedari tadi ku pandang menghilang seketika. Dia sudah tidak berada di tempatnya. Tetapi, biola dan partiturnya masih tersusun rapi di tempatnya. Mungkin sedang ke toilet. Aku kembali mengulang lagu tersebut dari awal dan mencoba menyatukan jiwaku dengan lagu ini.
                “Hey, ini ada lagu baru. Miss. Metta memintaku untuk memberikan ini padamu.” Jantungku hampir berhenti berdetak begitu mengetahui siapa yang berbicara di belakangku.


To be continued...

Comments

Popular posts from this blog

Bukti-bukti Itachi dan Sasuke Saling Menyayangi

Perkenalkan, bencana terseram seumur hidup

Kurcaci-kurcaci HI-C