a Silent Love (Part V)


Cerita sebelumnya bisa di baca di Continued Story :)


Aku datang 30 menit lebih awal dari anak-anak yang lain, sesuai permintaan Miss. Metta. Ruang musik terasa sepi. Tidak ada penghuni lain selain diriku. Ardi pun belum terlihat batang hidungnya. Kemana dia? Apa dia menerapkan kebiasaan-datang-telat-karena-malas-menunggunya yang sempat ia beritahukan padaku? Sepertinya tidak, ini sudah perintah Miss. Metta. Aku yakin dia tidak akan melakukan itu untuk kali ini. Untuk menghabiskan waktu menunggu Miss. Metta datang, aku kembali mengulang lagu Ballad Pour Adeline dan memainkannya dengan lebih memerhatikan dinamika.
                “Kalau boleh kasih saran lebih baik di bagian ini kamu gunakan pianissimo. Agar lebih tersentuh. Itu menurutku. Tadi kau kurang lembut memainkannya.” Mengapa dia selalu ada secara tiba-tiba dan keberadaannya sangat mengagetkan? Refleks aku memberhentikan permainanku dan melirik Ardi yang sudah berdiri disampingku sambil menggemblok biolanya. Jantungku berdegup dua kali lebih cepat. Melihatnya menggunakan varsity jacket dan celana jeans panjang, harus ku akui, dia terlihat tampan.
                “Ya, itu kelemahanku. Aku kurang andal dalam hal dinamika. Tapi, terima kasih sudah memberitahuku.” Ardi mengangguk pelan. Perlahan dia mendekatiku dan membuatku sangat terkejut. Tubuhku bergeser dengan sendirinya begitu dia duduk di sampingku, lebih tepatnya di kursi piano yang ku tempati. Kami duduk berdampingan di kursi piano. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang akan dia lakukan? Ardi mengalihkan pandangannya padaku, begitupula diriku yang tidak bisa menolak tatapan matanya. Kami kembali bertatapan dalam jarak yang dekat. Aku hanya berharap agar degup jantungku tidak terdengar sampai telinga Ardi.
                Ardi melakukan sedikit pemanasan pada pergelangan tangannya. Aku tidak mengerti apa yang akan ia lakukan, tapi aku mengerti pemanasan-pemanasan yang ia lakukan. Jemari-jemari indahnya mulai menyentuh permukaan piano. Aku… tidak salah lihat, kan? Dia mulai memainkan jemari lentiknya dan menghasilkan nada-nada yang sering ku dengar. Ballad Pour Adeline. Dia bermain sangat lembut. Aku mulai mengerti mengapa dia memainkan bagian lagu ini. Di bagian inilah yang menjadi kekuranganku. Satu kelebihan Ardi yang baru sekarang ku ketahui, dia bisa bermain piano.
                Aku terhanyut dalam merdunya nada-nada ciptaan jemari Ardi. Selain bisa bermain piano, dia sangat andal masalah dinamika. Tidak heran mengapa tadi dia memberi saran. Ternyata dia memang benar-benar paham dunia musik, terutama musik klasik. Aku memejamkan mataku, menikmati alunan nada yang sangat menyentuh. Aku sangat berharap Ardi memainkan lagunya sampai selesai. Aku tidak ingin keluar ke dunia nyata, aku ingin terus berada dalam suasana indah dibalut alunan nada-nada merdu ini. Sejauh ini, tidak ada nada fals yang terdengar. Aku akan terus memejamkan mataku sampai lagu ini berhenti.
                “Ini bagian kesukaanku. Jadi, aku ingin kau memainkan bagian ini dengan sempurna. Aku yakin kau bisa lebih bagus dari permainanku. Aku ini violinis, bukan pianis.” Ardi menghentikan permainannya. Aku membuka mataku sebelum Ardi menyadari kalau aku sangat menghayati permainannya tadi. Terlihat senyum tipis di akhir kalimatnya tadi. Kata-katanya sangat tidak benar.
                “Sejak kapan kau bisa bermain piano? Tidak, kau bohong. Kau pasti pianis juga kan? Kau… kau sangat mengerti piano. Seakan-akan kau sudah lama bersahabat dengan piano. Kau tahu pemanasannya, kau tahu letak-letak dimana harus memainkan dinamikan, kau tahu segalanya, Di.” Aku tidak bisa menahan pertanyaan-pertanyaan yang ingin ku utarakan langsung pada Ardi. Entah mengapa kata-kata yang ku ucap berjalan dengan lancar, seakan tidak ada penghalang yang biasanya menghambat lidahku agar tidak banyak berbicara dengannya. Untuk masalah kali ini, aku tidak bisa menahan diriku sendiri.
                “Hahaha. Kenapa kau kaget seperti itu? Mama sudah melatihku dari umur 5 tahun. Namun karena Mama seorang pianis, Mama ingin mencari teman duet. Papa yang mengusulkan agar aku bermain biola saja. Beliau bilang piano dan biola itu kalau disatukan akan menghasilkan nada-nada indah. Beliau juga bilang kalau duet piano dan biola adalah duet yang paling dia senangi di banding duet alat musik-alat musik lainnya.”  Ardi menjelaskan panjang lebar. Aku sekarang mengerti. Ternyata Mamanya yang mengajarinya piano. Tapi mengapa Ardi jarang memerlihatkan bakatnya yang terpendam ini?
                “Oh, aku mengerti sekarang. Dan mengapa kau tidak pernah memerlihatkan bakatmu ini kepada semua orang? Apa Miss. Metta tahu kau bisa bermain piano?”
                “Hey, kalian! Maaf saya datang terlambat. Saya menjemput mereka dulu tadi. Ayo, ikut saya.” Suara Miss. Metta menggema di sekitar ruangan. Ardi beranjak pergi dan mengikuti Miss. Metta dari belakang. Dia langsung meninggalkanku begitu saja. Menggantungkan pertanyaan yang sebenarnya sangat ingin ku ketahui. Sifat dinginnya memang belum berubah.
                Aku melihat dua orang yang berjalan di belakang Miss. Metta. Aku tidak pernah mengenal siapa mereka. Mereka perempuan dan laki-laki. Si laki-laki menggemblok biola di punggungnya, sedangkan si perempuan membawa map yang sepertinya berisi partitur. Siapa mereka itu?

*

To be continued :)


Comments

  1. cepet lanjutin la ceritanya. ceritanya seru, bikin penasaran gue sih hehee. cepet lanjut ya :D

    ReplyDelete
  2. eeeeeh hehehe kamu baca sep? ^^ oke deh aku lg ga ada waktu nih mau nerusinnya juga --" makasih ya sep XD

    ReplyDelete
  3. yoi sama sama. iya gue ngikutin dari part 1 nya hahahah

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bukti-bukti Itachi dan Sasuke Saling Menyayangi

Perkenalkan, bencana terseram seumur hidup

Kurcaci-kurcaci HI-C