a Silent Love (part IV)

Cerita sebelumnya bisa di baca di Continued Story :)


Kita mendapatkan partitur yang sama persis.
                Aku membeku. Tidak tahu harus berbicara apa. Begitu pula dengan Ardi yang memilih untuk tidak bersuara. Kami terdiam untuk beberapa saat. Apa selama ini yang selalu ku pikirkan memang benar? Apa Ardi memang benar-benar partner-ku berduet nanti? Ah, pikiranku kacau. Hanya kalimat-kalimat itu yang hilir-mudik di otakku. Kemungkinannya sudah sangat besar. Kami sudah memiliki partitur yang sama persis. Apa masih kurang bukti lagi untuk membuktikan kalau Ardi menjadi partner-ku nanti?
                Aku tidak bisa membaca tatapan Ardi yang tidak sengaja tertangkap beberapa detik tadi. Kami berpandangan dalam jarak yang bisa dibilang dekat. Aku memilih menyerah, mengalihkan pandanganku dahulu sebelum adegan ini terlalu lama berlangsung. Mata coklatnya seakan bisa menyihirku untuk tidak berpaling darinya. Namun, rasa maluku lebih kuat melawan sihir mata coklatnya. Ardi membenarkan posisi duduknya seperti semula. Sekarang kami sudah terpisah dengan jarak seperti semula. Aku masih terdiam dan memikirkan kalimat-kalimat yang belum bisa ku buktikan.
                “Maaf, aku harus berlatih. Aku belum latihan hari ini.” Ardi akhirnya bersuara memecahkan keheningan di antara kami. Aku mengangguk dan melemparkan seulas senyum sebelum Ardi membalikkan badan. Dia membalas senyumku dan menghampiri tempat favoritnya berlatih, 10 meter di depanku. Entahlah. Memandang sosoknya dari belakang saja sudah sangat mengagumkan.

*

                Miss. Metta memberi waktu break 30 menit sebelum melaksanakan gladi. Setiap latihan dan di akhir latihan, pasti kami semua melakukan gladi untuk event-event yang akan dilakukan. Walaupun masih ada beberapa hari lagi dan belum mendekati hari H, kami tetap mengadakan gladi. Setidaknya kalau seperti itu membuatku terbiasa di panggung nanti. Aku juga bisa memikirkan gambarannya seperti apa nanti. Gladi memang hal yang penting dan aku sangat senang melakukannya.
                Fani berlari kecil menghampiriku. Hari ini penampilannya natural seperti biasa. Hanya dibalut dengan kaos hitam lengan panjang dan celana jeans sedikit diatas lutut. Wajahnya terlihat lelah. Keringat terlihat bercucuran di dahinya. Satu jam sudah Fani dan vocal group berlatih non stop. Aku mengerti mengapa Fani lebih memilih menghampiriku dibanding bergabung dengan teman se-group-nya.
                Fani melontarkan rasa lelahnya dengan memaki-maki Miss. Metta. Aku sudah sering mendengar dumelan yang Fani lontarkan apabila dia sedang kesal seperti ini. Fani senang dan berbakat dalam hal tarik suara. Tapi kalau sudah berlatih lama dan tidak ada jeda waktu istirahat, itu membuat dia kesal. Bagaimana tidak? Jenis lagu yang akan dibawakan nanti adalah jenis lagu seriosa, dimana menyanyikannya menggunakan suara falsetto. Apalagi jenis suara Fani tergolong sofran, ini membuatnya berlatih lebih keras. Karena suaranya yang tinggi, dia memegang suara tiga.
                Aku membiarkannya melimpahkan seluruh kekesalannya padaku. Bagiku tidak masalah. Aku bisa membiarkannya dengan bermain piano dan meliriknya apabila nada bicaranya tiba-tiba memuncak. Walaupun aku membiarkannya, aku tetap mendengarkan. Terkadang aku harus menahan tawa melihat Fani sampai hampir menangis hanya gara-gara kisah-kisahnya pada saat latihan. Tiba-tiba pikiranku tertuju pada partitur yang tadi Ardi perlihatkan. Aku harus menceritakannya pada Fani. Dengan caraku yang seperti ini, aku bisa menghiburnya sedikit dan melupakan masalahnya dengan Miss. Metta.
                Amarah Fani mulai mereda. Hanya terdengar nafasnya yang menggebu karena saking lamanya ia berkicau tadi. Aku menghentikan permainanku. Aku membenarkan posisiku menghadap Fani, bersiap untuk mulai bercerita, “sudah. Kau lebih terlihat seperti atlet lari yang baru melewati garis finish. Aku ingin menceritakan sesuatu padamu.”
                “Pasti tentang Ardi?” Seulas senyum berhasil terbentuk di bibir Fani. Aku berhasil membuatnya tersenyum lagi. Aku rasa aku tidak perlu lagi menjawab pertanyaannya.
                “Miss. Metta memberikan partitur yang sama untukku dan Ardi.” Aku menahan nada bicaraku agar tidak terlalu terlihat senang. Ku lihat Fani yang sudah berubah drastis. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar. Dia memandang Ardi sekilas, dan kembali memandangku. Aku mencoba menenangkan diriku. Menunggu tanggapan apa yang akan Fani katakan.
                “Kalian… aku yakin kalian akan berduet! Lan, tunggu bukti apa lagi untuk…”
                “Sssstttt, jangan berlebihan seperti itu. Semua orang memandang aneh ke sini. Tolong berbicara dengan pelan.” Aku segera mendekap mulut Fani dan berkata pelan. Semua orang mengalihkan pandangannya ke arahku dan Fani. Termasuk Ardi. Ingin sekali rasanya memakai topeng untuk menyembunyikan wajahku sekarang. Aku menurunkan tanganku dan menatap Fani dengan tatapan kecewa.
                “Ma…maafkan aku, Lan. Aku hanya tidak percaya. Tapi, aku yakin. Dia memang partner-mu nanti. Kurang apa lagi? Kalian berdua murid kebanggaan Miss. Metta, kalian berdua mendapat partitur yang sama, kalian berdua sama-sama memegang alat musik penenang, kalian berdua…”
                “Fan, berhenti. Itu belum pasti. Entah mengapa aku belum percaya kalau aku akan berduet dengannya. Kemungkinan-kemungkinan yang kau katakan memang benar, tapi masih ada kemungkinan yang akan termungkinkan.”
                “Ah, bahasamu terlalu berat, Lan. Selagi kau masih pelajar dan belum menjadi mahasiswa, berbicara sesuai statusmu, dong. Tidak peduli, aku tetap percaya kalau kau dan Ardi akan berduet.” Fani sangat bersikukuh dengan argumennnya. Sedangkan aku sendiri merasa kalau apa yang Fani katakan belum tentu benar. Memang sudah banyak bukti-bukti, namun kalau belum diberitahu melalui mulut Miss. Metta sendiri, aku belum percaya. Aku akan menunggu Miss. Metta memberitahuku, dan tidak ingin terlalu percaya dengan argumen Fani yang sudah sangat ia yakini.
                “Lihat saja nanti. Aku akan menunggu Miss. Metta yang mengatakannya langsung. Dengan siapa nanti aku berduet. Sudah, kita jangan mempermasalahkannya lagi.”
                “Yayaya, walaupun aku tahu sebenarnya kau sangat senang begitu mengetahui judul partitur Ardi sama dengan judul partitur milikmu. Benar?” Fani terlalu andal untuk dilawan. Dia benar-benar hebat dalam masalah percintaan. Sampai-sampai dia membaca perasaanku yang sudah ku tutupi tadi, “ingat. Mata tidak bisa berbohong.” Fani menambahkan sekaligus mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum jahil. Fani terlihat lucu, namun sangat menyebalkan.
                Tidak terasa aku dan Fani sudah menghabiskan waktu break kami hanya membicarakan masalah ini. Fani kembali ke tempatnya setelah dia menggodaku dan aku mengancamnya. Aku pun kembali berkonsentrasi dengan laguku.
                “Lana, Ardi, ada yang ingin Miss sampaikan besok. Datanglah lebih dulu dari yang lain.” Miss. Metta berteriak sambil menyiapkan persiapan gladi.
                Aku tersenyum dan berkata dalam hati, “sangat bersedia, Miss.”

*

To be continued :)


Comments

Popular posts from this blog

Bukti-bukti Itachi dan Sasuke Saling Menyayangi

Perkenalkan, bencana terseram seumur hidup

Kurcaci-kurcaci HI-C