a Silent Love (part III)
Cerita sebelumnya bisa di baca di Continued Story :)
Aku yakin tanpa diperjelas pun Ayah sudah bisa membaca
pikiranku. Jadi, aku tidak perlu menyiapkan jawaban yang pas untuk menjawab apa
yang akan Ayah tanyakan selanjutnya. Ayah memang Ayah yang pengertian. Aku
menunduk. Tanpa sadar seulas senyum sudah terbentuk di balik rambut yang
menutupi wajahku.
*
Ruang
musik terlihat sepi hari ini. Hanya ada group
vokal, aku, dan pemain gitar akustik yang sedang latihan menjadi backsound drama musikal. Sudah sekitar
20 menit aku membiarkan jemariku bermain di atas tuts-tuts piano yang menjalar
indah. Aku sudah berlatih beberapa kali lagu Ballad Pour Adeline sedari tadi.
Begitu juga memainkan lagu-lagu lainnya yang membuatku merasa nyaman. Di
saat-saat seperti ini aku sangat membutuhkan Fani untuk menghiburku. Aku benci
situasi yang membosankan.
Group
vokal tidak kunjung selesai berlatih sampai sekarang. Dan sudah 30 menit aku
menunggu disini, menunggu Miss. Metta memanggilku. Sayang sekali dia sangat
sibuk memantau group vokal dan gitaris di sana. Rasanya hanya membuang-buang
waktuku di sini. Menunggu. Situasi ini semakin membosankan begitu aku memandang
sejauh 10 meter dan tidak terdapat siapapun di sana. Beribu-ribu pertanyaan
mulai bergejolak di otakku, kemana dia?
Benar
juga, aku baru sadar kalau Ardi tidak berada di tempatnya. Aku mulai tidak
berkonsentrasi pada lagu yang ku mainkan. Pikiranku menjalar kemana-mana. Tidak
biasanya kalau dia tidak latihan apabila kami semua, tim musik sekolah sudah
berkumpul di sini. Oh aku baru ingat, Ardi orang yang supersibuk sekarang. Ardi
bukan Ardi yang dulu, yang sangat terkenal sebagai violinis.
Hari
ini H-5 menjelang konser amal yang akan diadakan oleh sekolah. Itu tandanya aku
tidak punya banyak waktu lagi untuk berlatih. Begitu juga semua tim musik
sekolah. Mereka sangat mempersiapkan penampilan mereka masing-masing. Dan yang
paling diprioritaskan memang group vokal, karena merekalah yang sering tampil.
Kalau aku hanya sekali main, sebagai pengisi acara.
Dan
yang masih ku pertanyakan, dengan siapakah aku berduet nanti?
Otakku
tidak pernah menemukan nama lain selain Ardi yang akan menjadi partner-ku nanti. Masih belum pasti. Aku
tidak suka memikirkan sesuatu yang menurutku iya, tapi kenyataannya bukan. Itu
hal yang benar-benar menyebalkan. Lebih baik diam dan tidak berpikir terlalu
jauh.
40
menit sudah aku menunggu. Sampai-sampai jemariku tidak tahu lagi harus
memainkan lagu yang mana, aku sudah terlalu bosan. Aku menghentikan
permainanku, “kok berhenti? Kenapa? Aku sedang menikmati permainanmu.” Aku
terkesiap mendengar siapa yang berbicara dibelakangku. Aku mencoba menguasai
diriku agar wajah merahku tidak terlihat.
“Aku
bosan.” Aku berterus terang. Tidak membalikkan badanku apalagi menatapnya. Ardi
menarik kursi dan mengambil tempat di sebelahku. Terlihat jelas tangan kanannya membawa
partitur. Aku tidak bisa melihat dengan jelas judul dari partitur itu.
“Ya,
terlihat sekali. Miss. Metta sibuk dengan group
vokal. Itu yang menyebabkan aku tidak datang tepat waktu. Jam segini saja dia
masih sibuk dengan group vokal. Sama
sepertimu, aku malas menunggu.” Ekspresinya datar, namun nada bicaranya sangat
bersahabat.
“Kau
sangat cerdas. Kalau tahu seperti ini, lain kali aku akan meniru caramu agar tidak
lama menunggu.”
“Boleh
saja. Ide bagus, bukan?” Sekilas terlihat senyuman yang terbentuk manis di
bibir tipis Ardi. Selebihnya aku tidak memerhatikan lagi. Tidak sanggup
berlama-lama mataku menatapnya.
“Sangat.
Hmm, Ardi. Kau tahu lagu yang ku mainkan tadi?” Aku mulai mengalihkan topik.
Rasanya ingin menghentikan waktu untuk beberapa saat. Aku ingin berlama-lama
seperti ini. Aku ingin mengenal Ardi lebih jauh. Aku ingin…
“Siapa
yang tidak tahu lagu Ballad Pour Adeline bagi orang yang berkecimpung di dunia
musik lebih dari dua belas tahun? Aku
sangat mengenal lagu ini. Mama sering memainkannya.” Aku terkejut begitu
mengetahui dia sudah bermain musik 12 tahun yang lalu. Itu berarti dia sudah
bermain musik dari umur 5 tahun. Mengapa… kita sama?
“Bagus
kalau begitu. Aku memainkannya lagi karena partitur yang kau beri tempo hari.
Ternyata lagu itu sering ku mainkan juga. Jadi, tidak butuh waktu lama untuk
membacanya. Hanya memperhalus bagian-bagian yang masih kasar.” Aku tersenyum
tipis sambil menatap partitur di depanku. Aku masih ragu untuk menatap Ardi
dengan jarak yang lumayan dekat seperti ini. Aku belum siap.
“Kau
diberi lagu Ballad Pour Adeline? Lihat ini.” Ardi mencondongkan tubuhnya lebih
mendekatiku. Dia menunjukan halaman pertama partiturnya. Sekarang aku bisa membaca
jelas judul partitur itu. Dan aku mengerti mengapa Ardi menyuruhku melihat
dengan jelas judul partiturnya.
To be continued :)
Comments
Post a Comment