Kisahku Selama Tiga Puluh Lima Bulan

P.S: Pada awalnya, cerita ini saya kirim untuk sebuah lomba. Namun, saya tertarik untuk memublikasikannya di sini. Cerita ini terinsipirasi dari seseorang yang sangat kucintai. Teruntuk sepupuku tersayang, Navida Audy Salsabila :)                

Aku terdiam meratapi vespa merah mudaku yang sudah berkali-kali menginap di bengkel untuk diperbaharui. Ya, Srikandi memang sudah tua. Karena itulah aku mudah mendapatkan Srikandi dengan harga yang ‘mudah’ juga. Aku tersenyum simpul apabila mengingat bagaimana perjuanganku untuk membeli Srikandi. Sejuknya hembusan angin Bandung memerintahkanku untuk mempererat jaket yang sedang kukenakan. Begitu pula dengan jilbabku yang terkadang harus kurapikan karena terpaan angin sejuk ini. Tapi tidak apa-apa, aku sangat menikmati suasana seperti ini. Suasana yang selalu kurasakan bersama seseorang yang sudah mengisi kekosongan hatiku selama tiga puluh lima bulan. Aku menggeleng sambil menghembuskan napas, aku harus bisa menerimanya karena itu hanyalah masa laluku setahun yang lalu.
            Aku kembali  mengingat sosok itu. Sosok yang kucintai selama tiga puluh lima bulan. Sosok yang menggoreskan luka dalam di kehidupanku. Sosok yang memulai hubungan denganku dari kelas dua SMP dan berakhir pada kelas dua SMA. Aku tersenyum sinis mengingat itu semua.
            Tanggal 17 Juli 2008, pada saat jam istirahat sekolah. Kamu menghampiriku. Dengan seragam yang berbeda—karena kita berbeda sekolah, kamu datang secara tiba-tiba dan sangat mengagetkanku. Tapi, kamu sama sekali tidak menggubris ekspresiku yang penuh tanda tanya ini. Dengan terang-terangan dan tanpa keraguan sedikitpun, kamu menyatakan perasaanmu dihadapan seluruh teman-temanku yang sedang berduduk santai di depan kelas. Dengan senyum yang terus mengembang, kamu memberiku mawar merah yang sangat kusukai. Mulai hari ini, jam ini, detik ini, kami sudah resmi berpacaran.
            Memasuki jenjang SMA, lagi-lagi kami tidak menempati sekolah yang sama. Aku menempati sekolah menengah kejuruan, sedangkan kamu sudah diterima di salah satu sekolah menengah atas terfavorit di Bandung. Aku sudah tak heran dengan hal ini karena kamu memang cerdas dalam bidang akademik. Sedangkan aku? Aku lebih memilih kejuruan karena aku ingin mengejar cita-citaku menjadi seorang penari, sehingga aku memilih jurusan Teater yang akan kutempuh selama tiga tahun lamanya. Begitu pula denganmu.
            Waktu itu kami menduduki kelas 10 dan kamu mengajakku untuk berjalan-jalan dengan keluargamu. Sulit sekali untukku setiapingin menolak permintaanmu. Kamu selalu menang dalam kata-kata sehingga aku dengan mudahnya menuruti apa yang kamu mau. Seperti saat ini, kamu juga menambahkan kalau Ibumu sendiri yang mengajakku. Aku setengah tidak percaya. Sepedulinyakah orang tuamu padaku sampai mereka yang turun tangan untuk mengajakku? Namun, sorot mata yang kuyakini tidak pernah berbohong itu menambah bukti bahwa itu benar adanya. Aku tersenyum tipis diiringi dengan anggukan pelan yang membuatmu tidak tahan untuk mencubit pipiku. Aku ingat sekali saat-saat seperti itu—sampai sekarang.
            Karena keakraban antara orang tuamu dan aku, aku jadi lebih sering mengunjungi rumahmu. Dan pastinya disambut dengan hangat oleh seluruh anggota keluargamu, baik Ibu, Ayah, dan adik perempuanmu. Sepertinya mereka menyukai keberadaanku. Dengan cara Ibumu yang selalu menawarkanku makan siang, Ayahmu yang bertanya-tanya tentang kegiatan sekolahku yang sangat menyenangkan, adik perempuanmu yang sering memintaku untuk bercerita mengenai pengalamanku selagi menghadapi UN—berhubung dia hanya terpaut usia satu tahun lebih muda daripada diriku. Itu semua membuatku merasa nyaman berada di tengah keluarga kamu yang cukup harmonis.
            Kesukaan kami adalah berfoto-foto ria di webcame laptopmu. Ingatkah itu? Sehari berfoto-foto ria dapat menghasilkan sekitar dua ratus foto dimana selalu ada aku dan kamu didalamnya. Paling tidak, tambahannya adalah adik perempuanmu yang merengek ingin ikut di foto. Tentu dengan senang hati aku mengajaknya untuk berfoto bersama. Aku tercengang begitu melihat kamu mengunggah seluruh foto gila kami ke dalam salah satu akun di jejaring sosial milikmu. Aku termangu untuk beberapa saat. Antara terharu dan senang, bahkan sangat senang. Aku tidak menyangka kalau kamu—dengan beraninya—mengunggah seluruh foto absurd itu. Akhirnya aku bersuara begitu aku sadar kalau aku sedari tadi melamun. Aku sempat bertanya, “tidak malukah kamu mengunggah semuanya? Di situ fotoku sangat aneh, bahkan jelek. Pasti teman-temanmu akan mengejekmu apabila kamu memiliki pacar...” dia memotong pembicaraanku dan membuatku bungkam tanpa bisa membalasnya lagi, “itu foto. Bukan kenyataan. Lagipula hidup kita tiga dimensi, kan? Bukan dua dimensi seperti foto? Tidak akan kubiarkan orang-orang yang akan mengejekmu.” Aku sangat menyukai saat-saat seperti ini. Saat-saat dimana hanya ada aku, kamu, dan juga jalinan cinta kami.
            Semakin hari rasa cintaku semakin bertambah, bertambah, dan terus bertambah. Setiap hari rasanya selalu merindu, mengingat kita tidak dapat bertemu setiap hari dikarenakan jarak. Dan aku sangat berterima kasih kepada jarak. Karenanya, rasa rinduku terus dan terus bertumbuh yang secara otomatis membuatku selalu mengingatmu kapanpun dan dimanapun.
            Hari itu, Maret 2009 jam 01.00 dini hari, aku mendapat kabar terburuk sepanjang hidupku. Ayahku meninggal dunia akibat kecelakaan kereta api. Kebenaran berita ini pun semakin akurat begitu jumlah korban jiwa hanya seorang, hanya Ayahku. Aku mati rasa. Sampai-sampai menangis pun rasanya sulit. Aku tidak tahu harus bagaimana, mengingat ini semua terjadi begitu cepat. Sangat cepat.
            Kamu datang beberapa menit setelah aku memberitahumu. Matamu terlihat sendu begitu kamu menghampiriku. Perlahan matamu mulai terisi oleh cairan bening yang tertahan kelopak matamu untuk jatuh. Hey, kamu jangan menangis! Percuma juga aku berteriak. Aku terkena serangan saraf yang aku tidak tahu apa namanya. Serangan ini menyebabkan mulutku memicing ke arah kanan, dan juga kedua tanganku yang secara tidak sadar sudah menelungkup di depan dadaku dengan masing-masing jari tengah mengarah ke bawah, seperti kram. Aku tidak pernah mengalami ini sebelumnya. Dan aku juga tidak mempermasalahkannya. Sekarang permasalahan adalah aku tidak dapat berbicara dengan sempurna. Aku tidak bisa menenangkanmu yang tangisnya semakin menjadi. Baru kali ini aku melihat kamu menangis. Aku sedikit tersenyum melihat wajah kamu yang hitam manis sedang tertunduk menangis. Namun, aku yakin kamu tidak melihatku tersenyum karena sekarang aku sudah berada dalam rengkuhan hangatmu.
            Hari semakin pagi. Semakin banyak pula orang-orang yang berdatangan untuk menyambut jasad Ayahku. Kali ini aku sudah menguatkan diri untuk tidak menangis, dan pastinya menguatkan diri dari serangan aneh itu juga. Kulihat orang tua dan adik perempuanmu yang sudah datang dengan busana hitam-hitam mereka. Ibumu menghampiriku dan memelukku pelan, pelukan yang sangat hangat—sehangat pelukanmu tadi malam. Lalu, adik perempuanmu yang memberiku motivasi sedangkan dirinya sendiri sudah berlumuran air mata. Adikmu itu berhasil membuatku tertawa pelan. Kamu pun ikut tertawa bersamaku, walaupun aku tahu kamu hanya bermaksud untuk menenangkanku. Mata hitam lekatmu itu tak akan pernah bisa berbohong.
            Setelah menuggu sekitar satu jam, jasad Ayahku sudah berada di depan mataku. Tiba-tiba serangan itu kembali menyerang. Membuat para tamu keheranan menatapku dengan kondisi yang memprihatinkan itu. Tapi, kamu tidak bertindak demikian. Kamu menatapku lekat-lekat dan meraih kedua tanganku—kamu langsung menuju kedua jari tengahku dan mencoba untuk meluruskannya. “Astagfirullah al’adzim... astagfirullah al’adzim... ayo, dzikir. Astagfirullah al’adzim.” Kamu terus mengulang dzikir diiringi dengan suaraku yang mulai terdengar tidak jelas dikarenakan efek serangan itu. Perlahan diriku mulai tenang kembali, berkat bantuan dzikirmu dan juga perjuanganmu untuk meluruskan jari tengahku itu. Setelah kondisiku mulai membaik, kamu membawaku menjauh dari kerumunan orang-orang. Dan kamu juga membawaku jauh dari jasad Ayahku. Namun, aku mengerti. Karena, aku tahu, apapun yang kamu lakukan untukku itulah yang terbaik. Aku langsung menyadari kalau kamu sangat menginginkanku untuk istirahat. Dan benar saja, dengan caramu yang membawaku menjauh dari kerumunan orang yang sedang sibuk dengan isak tangisnya masing-masing, tanpa sadar aku langsung tertidur pulas.
            Tidak terasa aku dan kamu sudah menginjak kelas 11. Itu artinya satu tahun lagi kita akan bebas bertemu tanpa dikendalikan oleh jarak dan waktu. Tetapi, justru tahun-tahun ini adalah tahun dimana banyaknya cobaan yang menerpa kami. Saat ini, kamu adalah salah satu anggota OSIS dan kamu cukup terkenal. Kamu juga adalah salah satu murid yang menjadi mentor untuk para murid baru. Keadaan itu membuatku sedikit kesal. Aku memutuskan untuk mengecek akunmu di salah satu jejaring sosial, dan benar saja. Sudah banyak adik kelas perempuan yang memposting sesuatu di dinding profilmu. Entah mengapa, aku langsung membara. Hatiku serasa di tusuk pedang yang sangat tajam sampai menembus tulang belakangku—rasanya sakit. Baru kali ini aku merasa cemburu, bahkan sangat cemburu. Karena, selama ini aku selalu menganggap bahwa kamu hanyalah milikku. Namun kenyataannya, kamu memiliki tanggung jawab lain selain menjadi milikku. Kamu juga berhak memiliki teman, berhak berorganisasi, dan berhak menentukan kemana kamu akan melanjutkan kuliah, karena itu memang hak kamu. Namun, mengapa begitu ada adik kelas perempuan yang memposting sesuatu di dindingmu aku merasa begitu kesal? Sebenarnya aku juga tidak ingin seperti ini. Tapi, apa yang membuatku bisa menjadi seperti ini? Sepertinya kamu berhasil membuatku sangat sangat mencintaimu.
            Aku memutuskan untuk memprotes hal ini padamu. Namun, apa yang kudapat? Gertakan dan bentakkan yang pertama kalinya kamu lontarkan padaku. Aku kaget, sangat sangat kaget. Kamu bilang kamu tidak suka dengan sikapku yang tidak mudah percaya ini. Sebenarnya aku percaya, tapi entah mengapa untuk mempercayaimu mengenai adik-adik kelas perempuanmu aku tidak bisa percaya? Aku bilang aku cemburu. Kamu bilang aku tidak percaya padamu. Aku benar-benar emosi pada saat itu, dan aku pun memutuskan hubungan kami.
            Tentu saja kami masih saling mencintai. Kamu masih sering mengontakku, aku pun demikian. Aku masih sangat mencintaimu, dan aku sangat menyesali perbuatanku pada hari itu. Namun, pada saat kami sedang serius membicarakan tentang kami yang dahulu, kamu kembali mengajakku untuk seperti dulu. Tentu saja langsung kuterima. Dan aku tersenyum sendiri begitu membaca pesanmu kalau kamu ingin membuka lembaran baru di antara kami. Lupakan segala masalah yang lalu, tapi tetap ingat kenangan-kenangan kita yang sudah berlalu. Selalu kuingat kata-katamu yang itu—sampai sekarang.
            Beberapa bulan kemudian, kami sedang berbicara tentang masa depan kami masing-masing. Kamu bilang kamu ingin menjadi dokter. Aku bilang aku ingin menjadi penari. Aku akan membeli beberapa lukisan tari yang indah, agar rumah kami nanti penuh akan nilai seni. Namun, kamu membantah hal itu. Kamu bilang aku tidak boleh menjadi penari. Dan satu hal yang membuatku naik darah adalah kamu tidak ingin memiliki istri seorang penari. Sungguh, aku sangat marah besar. Begitu pula kamu yang tidak kalah ganasnya kalau sedang marah. Pecahlah kami. Lagi-lagi aku yang memutuskan hubungan. Namun, aku tidak merasa menyesal seperti dulu. Kali ini kasusnya memang serius. Aku sangat menginginkan cita-citaku tercapai tetapi kamu justru melarangnya. Baru sebatas berpacaran saja kamu sudah serius berkata seperti itu, dan aku bisa menebaknya apabila kamu menjadi suamiku. Aku benci dengan orang yang menghalangiku bercita-cita. Dan aku lebih benci lagi begitu mengetahui kamulah yang menjadi penghalang. Jujur, aku masih sangat mencintaimu. Tapi, ini demi masa depanku. Aku sudah kelas 11 dan sudah saatnya aku menentukan masa depan. Begitu pula kamu yang semenjak kejadian ini tidak pernah lagi mengontakku. Sepertinya ini juga merupakan kasus yang serius bagimu. Kamu juga tidak pernah mengajakku untuk kembali ke sisimu lagi. Lagipula, aku juga tidak akan semudah itu menerimamu kembali. Walau dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku sempat tidak terima hanya karena hal sepele kami menjadi seperti ini. Tapi aku sadar, hal sepele ini akan menjadi hal yang sangat besar apabila kami sudah berumahtangga.
            Aku tersenyum sinis menyadari lamunanku yang membuat otakku berubah menjadi mesin pengulang waktu. Dengan lancarnya memori-memori pada masa lampau itu terputar ulang di otakku. Tiga puluh lima bulan aku bersamanya dan lima belas bulan sudah aku tidak bersamanya. Masih banyak jumlah pada saat ‘aku bersamanya’ yang menyebabkan aku masih dengan mudahnya mengingat itu semua. Miris rasanya mengais-ngais masa lalu.
            Aku menghisap pelan rokok yang hanya kuapit sedari tadi. Mungkin kalau ada kamu disini, kamu langsung memarahiku dan membuang rokok itu jauh-jauh. Namun, kenyataannya sebaliknya. Kamulah yang membuatku menjadi seperti ini. Karena tidak ada kamulah aku dengan bebas menghisap berapa pun jumlah batang rokok yang kuinginkan. Aku mengepulkan asap di udara sambil mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Dimana aku dan kamu bertemu di suatu tempat dan aku terpaksa meminjam uangmu karena kecerobohanku lupa membawa dompet. Itu sangat memalukan di depan mata perempuan di seberang sana—seseorang yang sudah bersamamu sejak dua belas bulan lalu, namun tidak untukku. Aku senang karena dapat membuat perempuan itu memandang tajam ke arahku dan aku menyadari tangannya yang sedang meremas-remas ponselnya sendiri. Rasanya aku ingin tertawa terbahak melihat tingkah laku yang sudah tidak aneh lagi sebagai seorang kekasih.

            Kali ini aku tertawa kecil sambil mematikan putung rokokku. Mengingat itu semua terkadang menyakitkan, menyesakkan, dan juga membuatku menyesal. Namun, ada satu pelajaran yang kudapat dari kisahku selama tiga puluh lima bulan itu. Aku tidak boleh terlalu percaya pada orang lain yang bukan siapa-siapaku, mencintai seseorang secara berlebihan juga akan berdampak tidak baik bagi yang merasakan, dan aku juga tidak boleh mengganggu kebahagiaan orang lain di saat dia sudah bahagia. Ya, itu untuk kamu, selamat! Karena sudah mendapatkan seseorang yang cocok untukmu. Dan uang dua puluh ribunya, akan kuganti apabila kamu merasa membutuhkanku (lagi).

Comments

  1. Kakaaaaaak.... aku jadi flashbackkk hahaha. Makasih banyak sayang, ayo terus menulis!!!

    ReplyDelete
  2. Great to see that someone still understand how to create an awesome blog.
    The blog is genuinely impressive in all aspects.
    Great, love this .
    agen judi poker online terpercaya di indonesia

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bukti-bukti Itachi dan Sasuke Saling Menyayangi

Perkenalkan, bencana terseram seumur hidup

Kurcaci-kurcaci HI-C