a Silent Love (part II)


Cerita sebelumnya bisa dilihat di label continued story :)



Wajahku memanas, keringat bercucuran deras, dan degup jantung yang berdebar sangat cepat. Seperti inikah reaksi setiap orang yang menghadapi seseorang yang mereka cintai? Sangat berlebihan ternyata.
                Aku menghentikan permainanku dan membalikkan badan, “oke. Terima kasih. Untuk konser amal minggu depan juga?”
                “Entahlah. Dia tidak berkata begitu. Aku hanya di suruh memberikannya padamu.” Wajahnya datar. Begitu pula nada bicaranya. Aku bagai di sengat listrik beribu-ribu volt begitu pandanganku bertemu dengan pandangannya, sedekat ini. Mata coklatnya, membuatku sulit untuk memalingkan pandanganku ke arah lain. Untungnya saraf sensoriknya berkontraksi dengan baik, dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rasanya ingin sekali tersenyum.            
                “Ya sudah. Terima kasih.” Aku memutuskan untuk membalikkan badanku dan meletakkan partitur baru itu di depanku. Aku tidak ingin berlarut-larut melihatnya dari dekat. Ini sangat menegangkan sekaligus menyenangkan. Tapi, terlalu fatal rasanya apabila aku benar-benar menatapnya tanpa menoleh.
                “Kembali.” Dia berjalan pelan dan kembali pada tempatnya. Aku melihatnya menumpuk partiturnya dengan partitur lain. Ah, sayangnya! Aku tidak melihat apakah dia membawa partitur lebih tadi! Kalau seperti ini, banyak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Apa mungkin…Miss. Metta memberikan lagu yang sama? Ah, aku makin jauh berandai-andai.
                Ballad Pour Adeline. Aku sangat sering mendengarnya, apalagi memainkannya. Bisa dibilang aku sudah hafal setiap bait-bait alunan lagu ini. Aku hanya tinggal berlatih menyatukan jiwaku pada lagu ini. Harus lebih menjiwai lagi, agar semua orang yang mendengarku dapat merasakan bagaimana indahnya lagu ini. Aku membuka halaman demi halaman partitur disertai senyum bangga. Lagu ini ternyata tidak berbeda versi. Lagu ini sama dengan versi lagu yang sering ku mainkan. Sungguh sangat tidak keberatan bila aku harus memainkannya sekarang juga.
                Aku hampir tidak percaya begitu membuka halaman ke empat dan mendapati tulisan ‘violin’ pada bar lagu. Aku memutar otakku dan mencoba mengerti maksud dari partitur ini. Sesungguhnya aku tidak perlu berpikir sampai memutar otak, karena secara otomatis aku tahu apa jawabannya. Aku sudah mengikuti kursus musik dari usiaku yang masih 5 tahun. Dua belas tahun sudah aku menggeluti dunia musik. Jadi, masalah partitur kali ini aku sangat mengerti maksudnya. Yang aku pikirkan sedari tadi, siapa lagi pemain biola di orkestra sekolah ini?
                Kalau mendapat partitur yang berbentuk seperti itu, pertanda bahwa partitur itu dimainkan juga oleh biola. Dengan kata lain aku akan memainkan lagu ini dengan pemain biola. Ah, aku ini tidak bisa berpikir jernih. Bisa saja aku bermain orkestra dengan beberapa pemain biola dari luar. Banyak kemungkinan yang akan terjadi di balik kemungkinan yang hanya terpikirkan.

*

                Aku menghentikan permainanku begitu mataku membaca bagian yang harus dimainkan bersama biola. Aku kembali teringat akan ingatanku kemarin. Dengan siapakah nanti aku berduet? Terlintas sosok seorang pemain biola yang selama ini selalu ku pikirkan, secara otomatis tersungging senyum kecil di bibirku. Selalu saja seperti ini apabila aku memikirkannya.
                “Kok malah senyum-senyum? Lanjutkan lagi, dong. Ayah sedang asyik mendengarkanmu.” Tiba-tiba Ayah sudah duduk di sebelahku. Dengan cepat aku menundukkan kepala berpura-pura melihat partitur itu lebih detail. Alibiku yang sedang menyembunyikan raut wajah yang pasti sudah berubah.
                “Lana berhenti juga ada tujuannya, Yah.” Aku menegakkan kepalaku dan menatap Ayah yang sedang terfokus pada partitur yang ku pegang. Keningnya berkerut menatap partitur itu.
                “Jadi karena bagian ini dimainkan bersama biola, kau jadi berhenti? Kenapa? Padahal sama saja. Tapi dibagian ini, kau sebagai mengiring. Sedangkan pemain biolanya sebagai melodi. Apa yang harus dibingungkan?”
                “Ya, Lana tahu. Sebenarnya tidak ada yang harus dibingungkan. Tapi…entahlah.” Aku membuang pandanganku dan menghindari Ayah yang pasti mengetahui apa yang sedang ku pikirkan. Benar saja. Seulas senyum dapat ku lihat melalui ujung mataku, Ayah melemparkan senyumnya sambil menatapku, menungguku sampai ku ingin menatapnya balik.
                “Ah, kamu ini. Kalau lagi banyak pikiran, tidak pernah cerita sama Ayah. Ya sudah, lupakan dulu pikiranmu itu. Sekarang konsentrasi sama lagu ini, Ayah yang akan memainkan biola.” Ayah mengambil biola yang terletak di sebelah gitar kakakku. Karena sudah jarang dimainkan, Ayah membenarkan nada-nada yang fals pada biola. Aku menunggunya sambil menerawang, memikirkan kata-kata yang baru saja Ayah ucapkan. Ayah memang mengerti apa yang terjadi pada anaknya. Belum saatnya aku menceritakan semuanya pada Ayah.
                “Terima kasih, Yah. Kalau begini Lana jadi tahu simulasinya nanti.” Aku memulai pemanasan dengan memainkan beberapa tangga nada tiga oktav.
                “Iya, santai saja. Piano dan biola itu kalau diperpadukan, menghasilkan nada-nada harmonis yang sangat menyentuh. Karena, piano yang lembut dan biola yang menyentuh itulah yang membuat duet piano dan biola paling sering dimainkan. Benar, kan?” Ayah sudah memegang bow dengan posisi yang benar beserta meletakkan biola pada bahunya. Siap untuk bermain.
                “Sangat benar, Yah. Duet ini yang paling Lana suka. Piano dan biola.” Aku tersenyum dan mulai memainkan Ballad Pour Adeline.
                Aku memang sudah hafal lagunya, namun membaca juga sangat penting walaupun sudah hafal. Aku sudah terbiasa membaca, jadi sehafal aku pada lagu tersebut, bila ada partiturnya aku tetap membacanya. Aku mencoba menyatukan jiwaku pada permainanku. Aku memainkan tempo dan dinamika pada lagu agar semakin enak di dengar. Kalau bermain piano tetapi tidak memperhatikan tempo dan dinamika, sama saja seperti anak TK yang menekan asal tuts piano.
                Ayah mulai bermain. Inilah bagian yang nantinya harus ku mainkan dengan pemain biola. Aku memang menjadi pengiring saja, biola-lah yang nanti akan bermain melodinya. Ayah begitu menghayati lagunya sambil membaca partitur di hadapannya. Inilah keunggulan Ayah. Sangat handal menyatukan jiwanya pada lagu yang dimainkannya. Ayah sangat handal membuat seluruh orang yang mendengarkan permainannya menjadi luluh, terbawa suasana, sampai-sampai ingin menangis. Mendengar alunan nada yang dimainkan dengan Ayah begitu sempurna, membuatku terpacu untuk lebih bisa menghayati lagu yang ku mainkan.
                Lagu ini berdurasi sekitar delapan menit. Cukup lama untuk permainan alat musik. Ayah bertepuk tangan begitu kami menyelesaikan lagunya. Aku tersenyum melihat wajahnya yang begitu berbinar-binar. Aku sering melihat raut wajah Ayah yang seperti ini. Raut wajah seperti ini pasti ia lontarkan ketika aku sudah turun dari panggung dan menuju backstage. Biasanya kalau dia seperti itu, dia merasa bangga. Sekarang, mengapa Ayah mengeluar raut wajah seperti itu?
                “Ayah bangga padamu, Nak. Tumben sekali kau bisa benar-benar menghayati lagu.” Ayah mengacak-acak pelan rambutku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Salah satu faktornya adalah si pemain biola yang ku idolakan itu. Aku membayangkan bagaimana nantinya bila benar aku berduet dengannya. Senyumku makin menjadi-jadi.
                Ayah meletakkan kembali biolanya dan kembali duduk di dekatku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan padaku. Dia terdiam beberapa saat. Dan tangannya yang lembut kembali mengelus-elus rambutku pelan, “Ayah tahu pikiranmu sedang berjalan-jalan mencari sosok yang selama ini kau puja. Benar?”
                Tubuhku agak menegang. Aku mencoba untuk menguasai diriku dan berbicara pada Ayah yang ternyata mengetahui, “hmm, ada saatnya Lana akan ceritakan semuanya pada Ayah.”
                “Siapa dia?” Ayah langsung berterus terang. Aku melihat dia tersenyum jahil dan menangkap pandanganku agar aku tidak bisa berpaling kemana pun. Ayah memang cerdik. Tatapannya makin jadi begitu menyadari reaksi pada wajahku yang mulai memerah.
                “Hmm, pemain biola.” Cukup ini saja yang aku ceritakan pada Ayah. Tidak ingin panjang lebar.
                “Si Ardi itu?” Jleb. Aku menelan ludah saking tidak bisa berkata apa-apa. Tepat sekali tebakan Ayah kali ini. Mengapa tebakkannya langsung benar? Apa aku terlihat benar-benar menyukai Ardi sampai Ayah bisa menebak dengan mudahnya?
                Ayah mengenal Ardi semenjak aku dan dia menjadi satu grup orkestra pada kelas 9 lalu. Hampir seluruh warga sekolahku mengenal Ayah sebagai pianis yang hebat pada saat SMP. Itu membuatku senang pastinya. Tapi tentunya, dibalik kesenangan ada resikonya. Aku selalu dibanding-bandingkan dengan Ayah. Entah dengan guru kesenian, teman-teman, sampai Miss. Metta terkadang membanding-bandingkanku dengan Ayah. Miss. Metta ini adalah pelatih orkestraku dari SMP. Dan bertemu dengannya lagi di SMA sungguh sesuatu yang membanggakan. Miss. Metta sendiri pandai memainkan alat musik piano, saxophone, dan biola. Karena kepandaiannya itu dia menjadi pelatih sekaligus guru kesenian di SMA.
                Miss. Metta salah satu orang yang senang bila melihatku dan Ardi berkolaborasi. Dulu, pertama kali kami berkolaborasi, Miss. Metta-lah yang memintanya. Miss. Metta yang bersemangat memadukan biola dan piano untuk pertama kalinya di acara perpisahan angkatan 20. Dan pada saat itu, pertunjukkannya bisa dikatakan sukses. Betapa bangganya Miss. Metta pada saat itu. Sebagai imbalannya, Miss. Metta mengajakku dan Ardi makan di cafĂ© tempat biasanya beliau dan teman-temannya berkumpul. Dan dengan bangganya dia memperkenalkanku dan Ardi sebagai pemain partner biola dan piano. Dari situlah, aku melihat sesuatu yang tidak biasa dari sosok Ardi yang dingin. Walaupun dia dingin, tapi sebenarnya dia sosok yang mudah diajak bicara mengenai dunia musik. Itu yang membuatku terbuka dan sedikit akrab dengannya. Setelah selesai duet tersebut dan menjelang kelulusan, Ardi tidak pernah berbicara denganku lagi. Sekalinya bertemu, hanya senyum dan tatapan yang kami lakukan.
                “Tuh kan. Kau malah melamun. Ardi bukan orangnya?” Ayah menyadarkanku dari dunia khayal yang membawaku mengenang kejadian beberapa tahun silam. Mau tidak mau aku harus mengakuinya sekarang.
                “Melihat reaksi Lana Ayah sudah tahu kan?”
                “Memang sudah. Ayah hanya ingin mendengarnya dari mulutmu sendiri. Ardi, kan, orangnya?”
                “Ah, Ayah ini. Aku benci mengakuinya. Tapi, Ayah benar.” Aku berkata pelan. Tapi sangat yakin kalau Ayah mendengarnya sangat jelas.
                “Mengaku jatuh cinta kok malah benci? Kenapa harus benci? Dia saja tidak membencimu.” Ayah tertawa pelan. Benar juga. Aku benci diriku sendiri yang tidak bisa menyembunyikan perasaanku dengan handal.
                Aku terdiam tidak menjawab kata-kata Ayah yang benar faktanya.

To be continued :)


Comments

Popular posts from this blog

Bukti-bukti Itachi dan Sasuke Saling Menyayangi

Perkenalkan, bencana terseram seumur hidup

Kurcaci-kurcaci HI-C